IHRAM.CO.ID, KAIRO -- Pengadilan Mesir menjatuhkan hukuman mati terhadap 22 gerilyawan, termasuk seorang mantan perwira polisi. Pengadilan menyatakan orang-orang itu dinyatakan bersalah dengan tuduhan melakukan 54 operasi terorisme di seluruh wilayah Mesir, termasuk pembunuhan seorang perwira polisi senior serta percobaan pembunuhan mantan menteri dalam negeri Mohamed Ibrahim.
Di Sudan, sedikitnya 35 orang tewas dalam peperangan yang berlangsung selama berhari-hari di wilayah Darfur barat. Pertarungan antara pengembala Arab bersenjata itu meledak di pegunungan Jebel Moon, dekat perbatasan Chad, sebuah negara di Afrika Tengah yang berbatasan dengan Libya dan Sudan.
"Bentrokan itu menewaskan lebih dari 35 orang di kedua sisi. Sekitar 16 desa telah terbakar habis,” kata Omar Abdelkarim, Komisaris Bantuan Kemanusiaan Sudan di negara bagian Darfur Barat yang dikutip di Arab News, Jumat (26/11).
Gubernur Darfur Barat Khamis Abdallah mengatakan kekerasan itu dipicu oleh perselisihan tentang penjarahan unta. Dia juga memastikan bahwa bala bantuan militer telah dikirim ke lokasi dan situasi kini telah stabil. Beberapa orang telah melarikan diri ke barat mencari keselamatan melintasi perbatasan ke Chad, tambahnya.
Sebelumnya, Darfur dirusak oleh perang saudara yang meletus pada tahun 2003, yang mengadu pemberontak etnis minoritas yang mengeluhkan diskriminasi terhadap pemerintah Omar Al-Bashir yang didominasi Arab. Lebih dari 300.000 orang tewas dan 2,5 juta mengungsi, menurut PBB.
Bashir, yang dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional atas tuduhan genosida di Darfur, digulingkan dan dipenjara pada April 2019 menyusul protes massal terhadap pemerintahannya selama tiga dekade. Sementara konflik utama di Darfur telah mereda, dengan kesepakatan damai yang dicapai dengan kelompok pemberontak utama tahun lalu, wilayah gersang itu tetap dibanjiri perseteruan dan kekerasan sering meletus karena perebutan tanah, akses ke pertanian atau air.
Bentrokan terbaru terjadi dengan latar belakang pergolakan politik, ketika Sudan terguncang setelah kudeta militer bulan lalu yang menuai kecaman internasional dan memicu protes massa. Pada 25 Oktober, jenderal tinggi Abdel Fattah Al-Burhan menggulingkan pemerintahan transisi pasca-Bashir dan menahan kepemimpinan sipil.
Sementara itu, pekan lalu, Perdana Menteri Abdalla Hamdok dibebaskan dari tahanan rumah yang efektif dan dipekerjakan kembali, setelah menandatangani kesepakatan dengan Burhan yang dipandang oleh para kritikus sebagai "menghapus" kudeta.
https://www.arabnews.com/node/1975211/middle-east
https://www.arabnews.com/node/1975191/middle-east