IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Begitu berat situasi yang dihadapi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, ketika menginjakan kakinya di kawasan Thaif. Beliau merasakan duka mendalam lantaran ditinggal wafat dua penyokongnya, sang paman Abu Thalib dan istri tercinta, Khadijah.
Orang-orang musyrik Quraisy merasa kian kuat karena kini para pelindung Muhammad SAW itu telah tiada. Makkah sudah seperti tanah berduri bagi Rasulullah SAW. Kaum kafir makin berani merundung dan bahkan menganiaya para pengikut risalah tauhid.
Di tanah kelahirannya itu, Nabi SAW merasa seperti orang asing. Suatu kali, beliau pulang ke rumah dalam ke adaan sekujur tubuhnya penuh lumuran tanah kotor. Seseorang telah melempari Rasulullah SAW dengan bertubi-tubi. Fatimah az-Zahra yang menyaksikan ayahnya dalam keadaan demikian berlinang air mata. Putri Rasul SAW itu pun membersihkan kotoran dari tubuh sang ayah.
Dengan sabar, Nabi SAW menghibur hatinya, Jangan menangis, anak ku, Tuhan akan melindungi ayah mu! Ujian yang datang dari kaum kafir terus berlangsung. Maka dari itu, Nabi SAW mulai berupaya menyebarkan dakwah di daerah lain. Dengan ditemani Zaid bin Haritsah, beliau memutuskan pergi ke Thaif. Kota itu terletak sekitar 80 kilometer arah selatan Makkah.
Di sana, Nabi SAW bermaksud mendapatkan dukungan dan perlindungan dari Bani Tsaqif, suku setempat yang paling dominan. Thaif waktu itu dipandang sebagai zona damai dengan penduduknya yang cenderung terbuka. Harapan beliau, terbukalah wilayah dakwah baru yang damai, tanpa kekerasan.
Misi Nabi SAW ternyata tidak berhasil. Penguasa Bani Tsaqif menolak kedatangan beliau. Kabilah itu dipimpin tiga orang bersaudara. Seharusnya, secara etika mereka menerima Rasul SAW dengan baik. Selayaknya tuan rumah menghargai tamunya. Namun, mereka dengan terus terang mengatakan, tidak senang dengan Rasul SAW dan kaum Mus limin yang saat itu jumlahnya masih belum seberapa.
Bahkan, salah satu dari mereka menghina beliau, "Apakah Tuhan tidak menemukan orang selain dirimu untuk menjadi utusan-Nya?"
Menyadari upayanya tak berhasil, Rasulullah SAW kemudian meninggalkan ruangan itu.
Namun, di jalan penduduk Thaif seperti bersiap-siap menyerang beliau. Rupaya, mereka ingin Nabi SAW pulang tidak dalam keadaan selamat. Perlakuan mereka begitu kasar. Kata-kata kotor keluar dari lisan puluhan warga Thaif. Segerombolan orang bahkan melempari Nabi SAW dengan batu dan tanah.
Rasulullah SAW pun terluka cukup parah. Dengan sisa kekuatan yang ada, beliau tetap melangkahkan kaki menuju Makkah. Namun, langkah kaki beliau tertatih-tatih, menahan setiap serangan membabi buta yang datang dari masyarakat Thaif. Sampai di perbatasan kota, amuk mereka mulai mereda.
Nabi SAW dan pendampingnya begitu lelah. De ngan tubuh penuh luka terutama pada kaki mereka tetap melanjutkan perjalanan. Sementara, di langit para ma laikat menyaksikan pemandangan me milukan ini. Allah SWT mengutus mereka agar menemui sang Khatamul Anbiya.