IHRAM.CO.ID, LONDON -- Beberapa strereotip tentang Muslim berkeliaran di media dan terus berulang. Banyak yang menggambarkan Muslim sebagai seorang teroris Arab atau wanita bercadar yang patuh.
Sebuah karya baru berjudul Muslim in the Movies, yang diedit oleh Kristian Petersen, berusaha melihat melampaui kacamata Hollywood tentang bagaimana Muslim menampakkan diri dalam film di seluruh dunia. Ini adalah bagian dari seri Proyek Mizan yang menggali tentang beasiswa interdisipliner tentang sejarah, budaya dan agama masyarakat, serta peradaban Muslim.
Kurator buku ini berusaha untuk belajar dari sinema global di kalangan arus utama dan indie. Dalam beberapa kasus, hasilnya mengekspos penggambaran pada umumnya, namun di lain waktu ada interpretasi mengejutkan dan lebih bernuansa.
Secara khusus, cerita Muslim yang dibuat oleh Muslim itu sendiri dan termasuk dari dunia Muslim, memberikan kedalaman baru untuk topik ini. "Kemusliman dapat dibangun dan diekspresikan dengan cara yang sangat berbeda di berbagai budaya dan sinema Muslim, yang memungkinkan pemirsa melihat bagaimana pembuat film membayangkan berbagai kemungkinan ini," kata Petersen dikutip di Al Araby, Rabu (22/12).
Dari analisis ini, film digunakan untuk mengajukan pertanyaan tentang bagaimana Muslim dalam masyarakat modern. Hal itu juga terjadi pada saat ada seruan publik untuk visibilitas yang lebih besar dari Muslim di layar dan inisiatif yang mendukung pembuat film dan penulis Muslim.
Di antara antologi tersebut, esai Michela Ardizzoni tentang Muslim dalam film komedi arus utama di Italia, yang menunjukkan bagaimana Muslim secara budaya masih "asing" bagi khalayak umum, termasuk salah satu yang muncul ke permukaan.
Dalam karya 'Laughing at the Other: Muslim in Italian Comedies', Ardizzoni mendeskripsikan bagaimana Muslim digambarkan di layar sebagai "sosok yang lain". Hal ini merupakan cerminan yang lebih luas dari representasi mereka dalam kehidupan publik.
Dengan kurangnya pengakuan Islam terhadap Kristen atau Yudaisme di Italia, sementara lingkungan paska 9/11 dan peningkatan migrasi membentuk wacana dan sikap publik terhadap Muslim dan Islam, keduanya dipandang tidak sesuai dengan budaya Italia.
Kontribusi signifikan terhadap wacana ini terlihat dalam beberapa peristiwa media, seperti publikasi Oriana Fallaci yang memecah belah La rabbia e l'orgoglio (The Rage and the Pride, 2002). Ia menyatakan Islam sebagai sebuah monad ahistoris, tidak dibedakan, tanpa perbedaan atau ketegangan internal yang layak untuk dianalisis.
Selain itu, muncul pula isu konversi utama intelektual Muslim paling terkenal di negara itu, Magdi (Cristiano) Allam pada 2008, dari Islam ke Katolik.
Alih-alih membalikkan reduksi negatif, komedi arus utama kontemporer telah memperkuat stereotip dengan karikatur identitas Muslim. Misalnya, dalam film 2007 'Lezioni di cioccolato', karakter kontraktor Italia Mattia berpakaian sebagai pekerja ilegal Mesirnya, Kamal, ketika yang terakhir terluka di tempat kerja dan menggantikannya dalam kompetisi pembuatan cokelat. Dia mencoba untuk menggantikan Kamal dengan menonjolkan apa yang disebut perilaku, pakaian, dan aksen Mesir.
Dalam 'Che bella giornata' 2011, cerita ini melibatkan seorang penjaga keamanan katedral Duomo Milan yang jatuh cinta dengan seorang wanita Maghrebi, Farah. Tokoh perempuan berpura-pura menjadi mahasiswi arsitektur untuk mengakses katedral, menggunakan hubungan keduanya untuk menanam bom di gedung demi membalas kematian orang tuanya dalam Perang Teluk.
Seperti di Italia, reaksi media terhadap peristiwa-peristiwa politik telah berdampak pada para pembuat film di Inggris. Penulis Claire Chambers mengarahkan pandangannya ke periode dan peristiwa yang berbeda.
Dalam esainya, Then It Was 1989, the Year the World Changed: Pergeseran Representasi Muslim Inggris Sebelum 9/11, ia mengatakan "Rushdie affair" pada akhir 1980-an merupakan peristiwa geopolitik yang menarik Muslim 'yang tidak terlihat' di Inggris dari kategori "British Asians" yang lebih luas.
Ringkasnya, peristiwa tersebut melibatkan buku Salman Rushdie The Satanic Verses yang menyebabkan kemarahan di kalangan komunitas Muslim di Bolton dan Bradford, yang dia gambarkan sebagai perpecahan etnis. Hal ini terjadi karena dugaan penistaan, memicu fatwa dari Ayatollah Khomeini. Hal ini juga meningkatkan keterwakilan mereka dalam film dan Islam menjadi daya tarik umum, khususnya watak "fundamentalis".