Kedua, jamaah perlu diberikan edukasi tentang waktu pelaksanaan umrah, mengingat adanya peraturan wajib karantina, baik saat berada di tanah suci maupun di tanah air. Peraturan wajib karantina ini tentu membuat pelaksanaan umrah tidak akan sebebas seperti pada masa sebelum pandemi, kata dia.
“Selain konsekuensi dari dua hal diatas yang perlu dipahamkan kepada jamaah adalah terkait perubahan biaya umrah. Meskipun sampai saat ini belum ada referensi biaya resmi dari pemerintah, tapi jika merujuk pada biaya sebelum pandemi yang mencapai Rp 20 juta-an, lalu di masa pandemi direvisi oleh kemenag menjadi Rp 26 juta, dan kabarnya ada potensi untuk naik lagi menjadi Rp 28-30 juta, di luar biaya prokes dan karantina,” ujarnya menambahkan.
“Ini saya kira perlu dipahamkan kepada jamaah, agar mereka tidak kaget dan perlu dipastikan pula bagaimana jika terjadi pembengkakkan biaya, apakah bisa di-refund saja tau bagaimana, itu perlu dipastikan,” sambungnya.
Umrah kali ini, kata dia, menjadi perjalanan pertama Indonesia setelah vakum selama dua tahun penuh, dan akan menjadi sumber informasi dan latihan bagi regulator dan penyelenggara haji dan umrah untuk mempersiapkan diri menyambut musim haji di masa depan, meskipun hingga kini belum ada kejelasan adanya pemberangkatan jamaah haji Indonesia atau tidak.
“Tetapi setidaknya ini akan menjadi uji coba dan pengalaman yang penting untuk mempersiapkan keberangkatan ibadah haji, jadi perlu diamati betul bagaimana proses pelaksanaan prokes dan segala peraturan baru yang ada, karena saya yakin pada masa haji peraturan yang ditetapkan akan semakin ketat dan rumit, tapi setidaknya umrah ini bisa menjadi gambaran,” kata dia.