IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Seorang perempuan yang meminta diidentifikasi dengan satu nama, yaitu Arooza sangat marah sekaligus takut ketika Taliban berpatroli di pusat perbelanjaan pada Ahad (8/5). Saat itu, Arooza dan seorang temannya sedang berbelanja di lingkungan Macroyan, Kabul.
Arooza yang berprofesi sebagai guru matematika tidak mengenakan burqa seperi yang diperintahkan oleh kepemimpinan Taliban. Dia memakai jilbab seperti biasa, dan mantel berwarna cokelat pucat.
Pemimpin garis keras Taliban, Hibaitullah Akhunzada, sebelumnya juga mengeluarkan dekrit yang menyarankan bahwa perempuan tidak boleh meninggalkan rumah kecuali ditemani oleh kerabat laki-laki. Akhunzada juga menguraikan serangkaian hukuman bagi kerabat laki-laki dari perempuan yang melanggar aturan tersebut.
Pada Ahad (8/5), wanita di Ibu Kota Kabul mengenakan pakaian adat Muslim konservatif. Sebagian besar mengenakan jilbab tradisional, yang terdiri dari jilbab dan jubah panjang atau mantel. Tetapi hanya sedikit wanita Muslim yang menggunakan burqa.
“Wanita di Afghanistan memakai jilbab, dan banyak yang memakai burqa, tapi ini bukan tentang jilbab, ini tentang Taliban yang ingin membuat semua wanita menghilang. Ini tentang Taliban yang ingin membuat kita tidak terlihat," kata seorang perempuan di Kabul, Shabana, yang mengenakan gelang emas cerah di balik mantel hitamnya, serta menutup kepalanya dengan kerudung hitam berhiaskan manik-manik.
Beberapa wanita berhenti untuk berbicara. Mereka semua menentang dekrit terbaru Taliban terkait penggunaan burqa. Seorang sarjana tamu di New York's New School dan mantan dosen di Universitas Amerika di Afghanistan, Obaidullah Baheer, mengatakan, dekrit tersebut berusaha untuk menghapus seluruh gender dan generasi di Afghanistan.
"Ini mendorong keluarga untuk meninggalkan negara itu dengan cara apa pun yang diperlukan. Ini juga memicu keluhan yang pada akhirnya akan meluas ke mobilisasi skala besar melawan Taliban,” kata Baheer.
Setelah beberapa dekade perang, Baheer mengatakan, Taliban tidak perlu membuat rakyat Afghanistan puas dengan pemerintahan mereka. Menurut Baheer, banyak kesempatan yang disia-siakan oleh Taliban dengan cepat. Terutama untuk memperbaiki citra mereka di masa lampau.
Perintah menggunakan burqa adalah pukulan besar bagi hak-hak perempuan di Afghanistan, yang selama dua dekade telah hidup dengan relatif bebas sebelum Taliban kembali berkuasa pada Agustus tahun lalu. Bertepatan dengan mundurnya pasukan asing pimpinan Amerika Serikat (AS), setelah perang selama 20 tahun.
Pemimpin Taliban, Akhunzada jarang bepergian ke luar Kandahar dan cenderung tertutup. Dia menyukai elemen-elemen keras ketika Taliban berkuasa pada periode 1996-2001. Ketika itu, anak perempuan dan perempuan dilarang bersekolah, bekerja, dan memiliki kehidupan publik. Seperti pendiri Taliban Mullah Mohammad Omar, Akhunzada memaksakan ajaran Islam garis keras yang mengawinkan agama dengan tradisi suku kuno.
Para analis mengatakan, Akhunzada telah mengambil tradisi desa di mana anak perempuan dinikahkan saat pubertas, dan jarang meninggalkan rumah mereka. Akhunzada menyebut hal ini sebagai tuntutan agama.
Taliban telah terbagi menjadi dua golongan yaitu pragmatis dan garis keras. Hingga saat ini, kelompok garis keras dan pragmatis dalam gerakan tersebut menghindari konfrontasi terbuka.
Namun perpecahan semakin dalam pada Maret, ketika Akhunzada mengeluarkan keputusan bahwa anak perempuan usia sekolah menengah tidak diizinkan kembali ke kelas. Padahal sebelumnya, seorang pejabat senior Taliban mengatakan, semua anak perempuan akan diizinkan kembali ke sekolah. Akhunzada menegaskan bahwa membiarkan anak perempuan remaja kembali ke sekolah telah melanggar prinsip-prinsip Islam.
Seorang tokoh Afghanistan terkemuka yang akrab dengan perselisihan internal Taliban mengatakan, seorang menteri senior kabinet menyatakan kemarahannya atas pandangan Akhunzada pada pertemuan belum lama ini. Sementara mantan penasihat pemerintah, Torek Farhadi, mengatakan, dia yakin para pemimpin Taliban telah memilih untuk tidak berdebat di depan umum karena mereka takut persepsi perpecahan dapat merusak kekuasaan mereka.
“Kepemimpinan tidak melihat secara langsung beberapa hal, tetapi mereka semua tahu bahwa jika mereka tidak menjaganya, semuanya mungkin berantakan, sehingga mereka mungkin mulai bentrok satu sama lain," ujar Farhadi.
“Untuk alasan itu, para tetua telah memutuskan untuk bertahan satu sama lain, termasuk ketika sampai pada keputusan yang tidak dapat disetujui yang menyebabkan banyak kegemparan di dalam Afghanistan dan internasional,” tambah Farhadi.
Beberapa pemimpin yang lebih pragmatis tampaknya mencari solusi diam-diam yang akan melunakkan keputusan garis keras. Sejak Maret, sejumlah suara berkembang di antara para pemimpin Taliban, untuk kembali mengizinkan anak perempuan bersekolah.
Awal bulan ini, Anas Haqqani, adik laki-laki Sirajuddin, yang mengepalai jaringan Haqqani, mengatakan, anak perempuan berhak atas pendidikan dan mereka akan segera kembali ke sekolah. Namun dia tidak menjelaskan kapan anak perempuan usia sekolah menengah akan kembali ke kelas. Dia juga mengatakan bahwa perempuan memiliki peran dalam membangun bangsa.
"Anda akan menerima kabar baik yang akan membuat semua orang sangat bahagia, masalah ini akan diselesaikan di hari-hari berikutnya," kata Haqqani saat itu. n. Rizky Jaramaya/AP