Ahad 19 Jun 2022 06:16 WIB

Haji dan Nilai-Nilai Universal Kemanusiaan

Haji bukan semata ritual yang bersifat individual.

Jamaah haji Indonesia gelombang pertama mulai melaksanakan umrah di Masjidil Haram, Makkah, Senin (13/6).
Foto: dok. istimewa
Jamaah haji Indonesia gelombang pertama mulai melaksanakan umrah di Masjidil Haram, Makkah, Senin (13/6).

Oleh Muchamad Ikbal | Penulis berkhidmat pada Bidang PHU Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat

IHRAM.CO.ID, Ibadah haji adalah ibadah yang tidak hanya menghubungkan manusia dengan Tuhannya (hablun minallah), melainkan juga manusia dengan sesamanya (hablun minannas). Diharapkan kedua dimensi tersebut berjalan selaras dan seimbang. 

Dimensi vertikal yang disimbolkan dengan ketundukan kepada Sang Pencipta dan penafian terhadap segala nafsu duniawi yang termanifestasikan dalam ritual pelaksanaan haji sekaligus merupakan implementasi dari sikap taat terhadap Allah. Sedangkan dimensi horizontal tecermin dari sikap solidaritas sosial sesama manusia berupa pengakuan akan kesetaraan, persamaan derajat dan kesadaran akan eksistensi kemanusiaan.

Ibadah haji merupakan simbol komitmen bersama untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mengajarkan kepekaan sosial, empati terhadap pelbagai persoalan yang menimpa orang lain, sehingga setiap individu ataupun kelompok terjamin hak-haknya sebagai manusia yang merdeka dan bermartabat. Dengan demikian, pelaksanaan ibadah haji sejatinya adalah upaya untuk melakukan transendensi, refleksi, apresiasi, sekaligus mentransformasikan nilai-nilai moral ilahi yang suci menuju nilai-nilai insani dalam realitas sosial.

 

Dalam analisis antropologis Victor Turner, haji merupakan contoh sempurna yang mempraktikkan egalitarianisme, pembebasan dari struktur keduniaan, dan homogenisasi status sosial serta kesederhanaan dalam berpakaian dan tingkah laku. Maka, haji sesungguhnya adalah perjalanan kembali kepada Tuhan secara sukarela sekaligus pembebasan manusia dari segala status sosial yang melekat pada dirinya. 

Keseluruhan ibadah ritual dalam agama Islam memiliki konsekuensi sosial, baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan lebih tegas, seolah-olah ibadah ritual yang tidak menghasilkan buah "kepedulian sosial" ibaratnya pohon yang tidak berbuah. 

Selama ini ibadah haji cenderung lebih dipahami sebagai ibadah ritual semata, belum bisa menyentuh dimensi ibadah sosial. Artinya, predikat haji bagi seseorang hanya dilihat dari kemampuan berangkat dan datang kembali ke Tanah Air dengan disertai cerita-cerita atau pengalaman religius lainnya. Sejatinya, ibadah haji lebih banyak makna sosialnya daripada makna ritual (transendental). Hal ini didasarkan pada substansi Islam adalah agama rahmatan lil'alamiin. (QS 21: 107).

Bila kita cermati lebih lanjut, ternyata di dalam ibadah haji terdapat nilai-nilai yang positif sekaligus reformatif bagi peningkatan kualitas perilaku seseorang, baik secara vertikal (kesalehan individual) maupun horizontal (kesalehan sosial). Pertama, pada saat memakai pakaian ihram, dengan warna pakaian yang sama (putih), tanpa perhiasan, dan tanpa wangi-wangian, seseorang seakan diingatkan kembali kepada fitrah dan makna hidupnya yang meliputi aspek eksoteris dan esoteris. 

Secara simbolik, menurut Ali Syari'ati (1980), pakaian ihram melambangkan pelepasan semua sifat buruk dalam diri, yakni sifat serigala (kekejaman dan penindasan), tikus (kelicikan), anjing (tipu daya), dan kambing (penghambaan kepada selain Allah). ''Lepaskan dan berperanlah sebagai manusia sesungguhnya,'' Dengan demikian, haji mabrur bisa membuat pelakunya menghilangkan semua sifat buruk tersebut dalam dirinya

Kedua, pada saat tawaf dan wukuf di Arafah, seseorang harus melakukannya secara bersama-sama dengan jutaan orang dari berbagai pelosok dunia, suatu peristiwa yang tidak akan dialami pada kesempatan-kesempatan lain. Dalam kerumunan manusia yang menyemut dan dari jutaan orang itu, betapa kecilnya kita dihadapan Sang Khaliq, karena kita semua adalah sama. Secara simbolik, dengan tawaf jemaah belajar bahwa hidup harus senantiasa berjalan dalam koridor, aturan dan  ketentuan Allah SWT untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki.

Ketiga, pada saat sa'i, seseorang diingatkan kembali pada peristiwa pengorbanan istri Nabi Ibrahim, yaitu Siti Hajar dan anaknya, Ismail. Usaha dan kerja keras Siti Hajar mencari setetes air di tengah padang pasir yang terik dan tandus untuk bayinya, Ismail, tidak hanya membangkitkan sikap percaya diri dan etos kerja, tetapi juga menimbulkan rasa kagum yang pada gilirannya akan memotivasi diri mereka untuk menakar tingkat keimanannya di saat berhadapan dengan berbagai cobaan. 

Sa'i, mengajarkan bahwa hidup harus senantiasa berjuang dan berusaha semaksimal mungkin, untuk mencapai kesuksesan dunia akhirat. Sesuai dengan nama shofa yang berarti suci dan marwah yang berarti bermurah hati, maka usaha yang dilakukan manusia hendaknya dengan kesucian hati (ikhlas) dan berujung kedermawanan.

Keempat, pada saat wukuf di Padang Arafah mengajarkan jamaah, bahwa manusia adalah makhluk kecil, yang tidak memiliki daya dan upaya kecuali dari-Nya. Hal itu tecemin, ketika para jamaah melakukan wukuf secara serentak, semuanya memuji dan mengagungkan Allah SWT, tak ada yang pantas untuk dibanggakan dan diagungkan dalam hidup ini selain Allah, kita hanya bagian partikel kecil yang tidak berdaya atas Kuasa-Nya.

Kelima, pada saat melakukan tahallul, mengisyaratkan pembersihan dan penghapusan terhadap cara berfikir yag jumud, kotor, statis, sempit dan serakah yang masih bersarang dalam benak manusia. Dengan tahallul jamaah haji diharapkan akan memiliki cara pandang kemanusiaan yang produktif, kemudian lahirlah tindakan yang bermanfaat bagi sesama umat manusia.

Dengan kata lain, tahallul berarti mengajarkan kepada umat Islam yang menjalankan ibadah haji agar bisa memiliki dan mengeluarkan pikiran yang baik dan positif. Makna sosial ibadah haji adalah mengajarkan kepada umat Islam umumnya dan jemaah haji khususnya senantiasa mengubah pikiran, sikap serta perilaku (tindakan) yang lebih bermanfaat untuk orang lain, jangan sampai memiliki persepsi bahwa ibadah haji itu hanya untuk Allah, justru yang paling esensial adalah ibadah haji itu diperuntukkan bagi sesama manusia dengan cara selalu menjaga, menghormati, menghargai serta saling menjunjung tinggi nilai-nilai martabat manusia. 

Sabda rasul dalam dalam kitab Ruhul Bayan Jilid II: "Tidak akan berhasil bagi orang yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci sekiranya tidak membawa tiga hal; (1) sikap wara' yang membendung dirinya melakukan yang diharamkan, (2) sikap sabar yang dapat meredam amarah, (3) dan bergaul baik dengan sesama manusia." 

Dalam konteks inilah orang-orang yang melaksanakan haji mesti mampu menerjemahkan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Haji bukan semata ritual yang bersifat individual atau malah hanya untuk memenuhi rukun Islam yang kelima, melainkan juga merupakan ritual yang memiliki nuansa sosiologis, di mana seseorang yang telah menunaikan haji tidak boleh menutup mata atas persoalan-persoalan kemanusiaan. 

Persoalannya, sudahkah saudara-saudara kita yang kini mengenakan atribut “Bapak Haji” dan “Ibu Hajjah” yang jumlahnya jutaan itu mampu berbuat sesuatu secara signifikan bagi perubahahan sosial masyarakat lebih baik? Kalau belum, maka pendapat seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo, Dr Sayyid Razak Thawil, kita seolah diingatkan bahwa sejatinya makna kemabruran substantif ibadah haji itu tidak terletak pada huruf “H” atau “Hj” di muka nama seseorang. Tetapi, pada aktualisasi nilai-nilai simbolik peribadatannya yang membekaskan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. 

"Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali Surga. Dikatakan (kepada beliau): 'Apakah bentuk bakti dalam haji itu?' Beliau berkata: 'Memberi makanan dan berbicara yang baik.’”(HR. Ahmad, ath-Thabrani, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan al-Hakim. Al-Albani berkata: "Shahih lighairihi, lihat Shahih at-Targhiib" No. 1104)). Wallahu a'lambishawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement