REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Afiliasi penyelenggara umroh haji Indonesia (Ampuh) memastikan negara lain tidak bisa ikut mengatur terkait kuota haji. Pemerintah Arab Saudi yang memiliki kewenangan mengatur kuota haji termasuk haji non kuota seperti mujamalah dan furoda.
"Haji non kuota yaitu haji furoda dan haji mujamalah adalah wewenang sepenuhnya dari Pemerintah Saudi," kata Sekjen Ampuh Tri Winarto, seperti dilaporkan Republika, Senin (4/7).
Pemerintah Indonesia tidak bisa mengatur haji non kuota seperti mujamalah dan furodah, proses penggunaannya seperti haji kuota. Haji furodah dan mujamalah tidak bisa ditentukan kapan bisa di gunakan seperti halnya haji kota, karena itu kewenangan Arab Saudi.
"Indonesia tidak bisa ikut campur apa lagi mengatur kuota haji yang bukan haknya dari masing-masing negara," katanya.
Jadi kata dia, sulit haji furodah dan mujamalah diatur di dalam peraturan perundang-undangan agar mekanismenya penggunaan haji non kuota ini seperti haji kuota. Di mana haji kuota ini jelas kapan terbit visanya sementara haji mujamalah dan furodah terbit visanya tidak bisa ditentukan.
"Rasanya sulit untuk mengatur memasukkan apa yang bukan menjadi haknya negara. Karena itu sepenuhnya adalah haknya pemerintah Saudi," katanya.
Tri memastikan, kuota seluruh dunia bagi umat Islam sudah diatur dan dialokasikan pemerintah Saudi berdasarkan jumlah umat Islam. Demikian halnya kuota haji yang diterima Indonesia menjadi wewenang negara yang mengatur melalui sistem antrian yang ada.
Sebelumnya Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (Sapuhi) Syam Resfiadi menyarankan aturan haji Mujamalah dan Furoda yang ada dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggara Ibadah Haji dan Umroh diperbaiki. Saran ini setelah banyak persoalan yang terjadi dalam penyelenggaraan haji mujamalah dan furoda yang visanya keluar di waktu yang sudah mendekati prosesi Armuzna.
“Kasus mujamalah dan furodah itu muncul menjelang prosesi haji, orang kesulitan mencari visa. Dan tidak jelas sumbernya dan kalaupun ketemu harganya jauh lebih mahal dari waktu-waktu sebelumnya,” kata kata Syam Resfiadi seperti dilaporkan Republika, Sabtu (21).
Untuk itu kata Syam persoalan haji mujamalah dan furodah ini perlu diatur di dalam UU Haji dan Umroh Nomor 8 tahun 2019. Sehingga, masyarakat yang ingin menggunakan haji mujamalah dan furodah ini mendapatkan kepastian.
“Saya sudah memberikan saran positif, bahwa UU Haji dan Umroh Nomor 8 tahun 2019 harus diperbaiki dengan menambah pasal tentang visa haji mujamalah diambil dari quota nasional namun berbayar dengan harga yang stabil,” ujarnya.
Jadi kata, Syam Pemerintah dan DPR di Komisi VIII bisa menetapkan kuota untuk haji mujamalah ditentukan harganya untuk dibeli oleh pihak swasta. Uang hasil dari kuota haji mujamalah itu bisa dipergunakan untuk kegiatan keagamaan dan sosial yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
“Kuota mujamalah ini bisa berbayar sejumlah angka tertentu untuk diberikan ke kegiatan Agama atau Sosial dan dilakukan oleh BPKH sebagai penerima setoran,” ujarnya.
Atau bisa juga visa kuota haji mujamalah ini berbayar ke Kerajaan Saudi Arabia (KSA) sebagai tambahan kuota mujamalah atau furodah tersebut. Jadi yang selama ini KSA mendapat uang dari menjual visa Furodah atau Mujamalah jadi nyaman dan aman.
Syam mengatakan, jika Pemerintah dan DPR menyetujui kuota haji mujamalah menjadi komersial atau bayar jika swasta ingin menggunakannya, maka perubahan peraturan perundang-undangan itu tinggal disosialisasikan kepada Pemerintah Arab Saudi.
“Jika disetujui perbaikan UU Nomor 8 tersebut dilanjutkan dengan memberi informasi melalui jalur diplomasi bahwa ada perubahan UU Nomor 8 tersebut tentang jumlah presentasi haji khusus yang 8 persen dari kuota nasional lalu sekian persen dari kuota nasional untuk furodah,” katanya.
Sehingga, bagi mereka yang tidak ingin antri bisa dapat jaminan kuota haji dengan syarat yang sama namun membayar lebih mahal ke BPKH untuk dimaksimalkan manfaatnya juga untuk kegiatan Agama dan Sosial di Indonesia.
Ali Yusuf