Keramahan dalam Islam
Arus jamaah haji ke Makkah meningkat pesat setelah Islam dan daerah permukimannya terus berkembang. Sudah biasa bagi peziarah dari seluruh dunia pergi haji dan menetap di Makkah. Mereka membangun rumah di lereng dan puncak bukit karena kekurangan lahan di lembah dan masalah banjir musiman pada masa itu.
Rumah-rumah Makkah memiliki karakter tersendiri, yang dibedakan dengan ruang terbuka, denah lantai yang kompak, dan jendela kisi-kisi. Ketinggian bangunan mereka tidak melebihi dua lantai. Selama berabad-abad, para pelancong menggambarkannya sebagai, “dibangun dari batu hitam halus dan juga batu putih, tetapi bagian atasnya terbuat dari kayu jati dan tingginya beberapa lantai, bercat putih dan bersih.”
Pada abad ke-12, ahli geografi Andalusia Ibn Jubayr mengomentari atap datar rumah-rumah Makkah. “Kami melewati malam di atap tempat kami menginap dan terkadang dinginnya udara malam menimpa kami dan (kami) membutuhkan selimut untuk melindungi kami darinya.”
Seorang mualaf Inggris yang menunaikan ibadah haji sekitar tahun 1684, Joseph Pitts menulis dalam sebuah catatan tentang Makkah. “Penduduk, terutama laki-laki, biasanya tidur di atap rumah untuk mencari udara atau di jalan di depan pintu mereka. Untuk bagian saya, saya biasanya berbaring terbuka, tanpa penutup tempat tidur, di atas rumah…”
Rumah-rumah tradisional di Makkah saat ini terus melayani kebutuhan para peziarah seperti di zaman pra-modern. Karena Makkah tidak memiliki hotel di masa lalu, banyak masyarakatnya menyediakan akomodasi bagi jamaah selama musim haji, seperti menyewakan kamar, lantai atau bahkan seluruh rumah. Ketika membangun rumah pun, orang Makkah umumnya memikirkan struktur dua fungsi, yang berfungsi sebagai rumah dan penginapan bagi peziarah.