Senin 11 Jul 2022 23:04 WIB

Pesan Haji Intelektual Muhammadiyah: Kita Berhak Diperlakukan Adil dan Setara

Haji merupakan ibadah fisik dan spiritualitas yang agung

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Jamaah haji melakukan Tawaf Perpisahan di sekitar Kabah. Haji merupakan ibadah fisik dan spiritualitas yang agung
Foto: EPA-EFE/ASHRAF AMRA
Jamaah haji melakukan Tawaf Perpisahan di sekitar Kabah. Haji merupakan ibadah fisik dan spiritualitas yang agung

IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Ibadah haji seharusnya mampu melahirkan sosok Muslim yang teguh dalam menaati perintah Allah SWT, memiliki jiwa yang lapang dan toleran, ketimbang sekadar sebagai ritual ibadah tahunan belaka.  

Menurut dia, itulah teladan yang harus dicontoh dari kisah Nabi Ibrahim dahulu. “Ibadah haji adalah momentum yang tepat untuk menapaktilasi hanif-nya Nabi Ibrahim, bagaimana dia teguh sekaligus pasrah dalam menjalankan perintah Tuhan,” kata intelektual Muhammadiyah, Sukidi, dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (11/7/2022).

Baca Juga

Selain keteguhan dalam beribadah, menurut Sukidi, spirit keberagamaan yang lapang dan toleran juga perlu digelorakan terus menerus di tengah sikap beragama sebagian masyarakat Muslim yang cenderung eksklusif dan sektarian. “Umat Islam kurang begitu menjiwai spirit Nabi Ibrahim tentang keberagamaan yang hanif,” ucapnya.

Karena itu, kesadaran beragama sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim alaihissalam harus terus dikumandangkan ke segenap umat Islam. Kader Muhammadiyah ini merujuk pandangan Thabari ketika menguraikan arti kata “hanif” yang ia sebut memiliki beragam makna.

Di antaranya, “hanif” itu diartikan sebagai mustaqiman atau beragama dengan jalan yang lurus, dan dimaknai sebagai mukhlishan atau seorang yang memiliki keikhlasan penuh ketika beribadah kepada Tuhan. 

Hal ini sesuai dengan yang ditafsirkan Muqatil bin Sulaiman, mufasir terkemuka era awal Islam. “Apalagi, Nabi SAW pernah berkata, bahwa agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran,” jelas Sukidi.

Hadits di atas, menurut Sukidi, merupakan penegas bagi umat Islam agar bertenggang rasa dalam beragama, yakni memberikan ruang kebebasan kepada yang lain untuk menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing.

Menurut Sukidi, agama yang lapang dan toleran ini penting untuk ditegaskan karena telah menjadi karakter dasar Islam yang sejati. 

“Islam dapat berkembang menjadi agama dunia, agama peradaban, dan agama yang dipeluk oleh miliar orang, karena spiritnya yang memberikan toleransi kepada segenap umat yang berbeda agama dan keyakinan,” ujarnya.

Pesan penting lainnya dari pelaksanaan ibadah haji ialah spirit kesetaraan yang terkandung dalam pidato perpisahan Nabi Muhammad SAW. 

Pemikir Kebhinekaan itu menguraikan, Nabi SAW dengan tegas menyampaikan bahwa martabat, kehormatan, dan harta merupakan elemen paling utama dalam hidup manusia yang tidak boleh dinista siapa pun. “Setiap kita berhak diperlakukan secara adil dan setara sebagai manusia,” ucap dia.

Pesan utama yang disampaikan Nabi ketika wukuf di Arafah itu harus menjadi pedoman hidup masyarakat Islam di Indonesia yang sangat bhineka dari sisi agama, ras, etnis, suku, dan budaya.

Dia pun mendorong umat Islam agar meneladani spirit Piagam Madinah yang digagas Nabi ketika membangun peradaban baru di Kota Yatsrib pada tahun 622 M.

Doktor lulusan Universitas Harvard itu menilai penting untuk meneladani perjanjian yang lahir demi menjamin kesetaraan, kebebasan, dan perdamaian di antara suku, agama, etnis, dan ras yang berbeda-beda di wilayah itu.

Dalam konteks Indonesia yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, menurut dia, sudah selayaknya umat Islam menjiwai spirit kemajemukan, yakni fakta bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan latar yang berbeda-beda, tetapi setara dalam hal apa pun.

“Hanya ketakwaan yang membedakan satu dengan yang lainnya,” kata Sukidi sembari menambahkan, “Sedangkan hanya Tuhan yang tahu siapa di antara kita yang paling bertakwa,” jelasnya.

Di segmen terakhir dialog itu, Sukidi mengharapkan umat Islam untuk menjunjung tinggi sikap rendah hati yang memudar dari kehidupan sehari-hari. Dengan sikap rendah hati itu, seorang akan menjadi Muslim yang baik, mampu memberikan respek yang setara ke semua manusia, dan bersedia bersikap tepo seliro kepada yang lain.

“Dengan meneladani Alquran dan sunnah, kita akan menjadi Muslim yang baik, dan otomatis menjadi warga negara yang baik. Karena kita berpegang teguh kepada ajaran Islam,” katanya.

Menurut Sukidi, tradisi memberikan respek yang setara inilah yang harus selalu dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Praktiknya adalah dengan cara memberikan sikap hormat kepada siapa pun secara setara dan adil, tanpa pandang bulu.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement