IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pada zaman dahulu, Demak termasuk daerah yang mendapatkan pengawasan tinggi dari pihak penjajah. Pemerintah kolonial selalu berupaya memadamkan semangat juang tokoh-tokoh setempat. Belanda khawatir, mereka mengobarkan jihad fii sabilillah untuk melawan penindasan.
Di antara banyak target monitor Belanda adalah KH Ibrohim. Sang alim merupakan murid Syekh Abdul Karim, salah satu sosok pejuang di balik peristiwa Geger Banten 1888. Karena itu, bagi rezim kolonial, gerak- gerik Kiai Ibrohim patut selalu diawasi.
Sayangnya, tidak banyak sejarawan yang mencatat gerakan jihad yang dilakukan sang kiai. Bagaimanapun, patut diduga bahwa pendiri Pondok Pesantren Ibrohimiyyah Mranggen itu pernah dipenjara penguasa.
Sebab, ia menikah dengan istri keduanya, Nyai Halimah, yang adalah putri seorang sipir penjara.
Kiai Ibrohim selalu menekankan sikapnya yang antipenjajahan. Walaupun dibujuk berkali-kali, dirinya pantang bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Para santri dan penerusnya juga dilarang olehnya untuk menerima bantuan dari rezim penindas. Dalam berbagai kesempatan, ia selalu mengingatkan bahwa dana dari penjajah adalah haram diterima.
Prinsipnya sangat tegas dalam memilah antara yang halal dan haram. Itulah pula yang diturunkannya kepada anak keturunan.Seorang cucunya, KH Latif Mastur, bercerita tentang hal itu pada 1980 M.