IHRAM.CO.ID, MANBIJ -- Pihak berwenang yang berafiliasi dengan Kurdi mengatakan telah menemukan sisa-sisa hampir 30 mayat di kuburan massal Kota Manbij di Suriah Utara. Pemantau perang mengatakan mereka kemungkinan dibunuh oleh para militan ISIS.
"Setidaknya 29 mayat, termasuk seorang wanita dan dua anak, telah ditemukan di kuburan massal di dekat sebuah hotel di Manbij," kata seorang pejabat dewan sipil Manbij yang berafiliasi dengan Kurdi, yang meminta anonimitas, dilansir dari The New Arab, Kamis (28/7/2022).
Kelompok ISIS telah mengubah hotel itu menjadi penjara ketika mereka memerintah kota Utara antara 2014 dan 2016. Kuburan massal itu digali pada Rabu oleh pekerja kota yang sedang melakukan pekerjaan pada sistem saluran pembuangan, menurut dewan militer Manbij.
Beberapa dari sisa-sisa yang membusuk ditemukan diborgol dan ditutup matanya. Dewan militer mengatakan tidak jelas kapan mereka terbunuh, tetapi itu terjadi selama pemerintahan ISIS di Manbij.
Pemantau perang Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di Inggris mengatakan jenazah itu diyakini milik orang-orang yang diculik oleh ISIS. Pasukan pimpinan Kurdi yang didukung AS menguasai Manbij pada 2016, setelah mengusir para militan dari kota itu.
Puluhan kuburan massal telah ditemukan di Irak dan Suriah tetapi proses identifikasinya lambat, mahal dan rumit. ISIS memang merebut sebagian besar wilayah Irak dan Suriah pada 2014, mendeklarasikan "kekhalifahan" dan membunuh ribuan orang sebelum akhirnya dikalahkan.
Para ekstremis terus beroperasi sebagai kelompok pemberontak, melancarkan serangan di kedua negara. Salah satu kuburan massal terbesar ISIS yang diduga berisi 200 mayat dan ditemukan pada 2019 di dekat Raqqa, bekas ibu kota de-facto kelompok itu di Suriah.
Kelompok hak asasi manusia telah berulang kali meminta otoritas Kurdi dan pemerintah Suriah untuk menyelidiki nasib ribuan orang yang hilang selama pemerintahan ISIS. Yang hilang termasuk reporter Inggris John Cantlie dan pendeta Jesuit Italia Paolo Dall'Oglio.
Perang Suriah, yang meletus pada 2011 setelah penindasan brutal terhadap protes anti-pemerintah, telah menewaskan hampir setengah juta orang dan memaksa sekitar setengah dari populasi pra-perang negara itu meninggalkan rumah mereka.