IHRAM.CO.ID, Jumroni dalam artikelnya, Masjid Bersejarah di Jakarta (2006) menjelaskan, pendiri Masjid Jami al-Anwar adalah Gouw Tjay alias Jan Con. Ia merupakan sekretaris kapitan Cina saat itu, Souw Beng Kong. Dengan perkataan lain, sejak abad ke-17 sudah ada warga keturunan Tionghoa yang memeluk Islam.
Souw Beng Kong merupakan seorang saudagar yang sukses di Pulau Jawa. Salah satu sumber kekayaannya adalah kebun lada yang luas.Gubernur jenderal Belanda ketika itu, JP Coen, tertarik untuk bekerja sama dengannya.
Sesudah menduduki Jayakarta, nyaris semua penduduk lokal melarikan diri bersama Pangeran Jayakarta. Maka yang tersisa umumnya di sana adalah masyarakat etnis Tionghoa. Coen lalu bersurat kepada Souw Beng Kong guna memintanya pindah ke daerah taklukan itu.
Selama di Batavia, Souw Beng Kong dibantu oleh seorang Cina gundul yang kemudian menjadi sekretarisnya, Gouw Tjay. Disebut demikian karena sang sekretaris telah berislam. Saat tinggal di Kampung Bebek, Muslim Tionghoa ini membangun sebuah masjid yang terbuka bagi siapa pun umat Islam.
Pemerintah kolonial sempat mendekati Gouw Tjay untuk meminta jasanya sebagai mediator ter hadap Kesultanan Banten. Sekretaris Souw Beng Kong ini memang dikenal dekat dengan sultan Banten. Namun, permintaan Belanda itu ditolaknya dengan alasan tidak mau mencampuri urusan politik.
Ketika pecah Geger Pecinan 1740, sebagian orang etnis Tionghoa berhasil melarikan diri.Mereka kemudian bersembunyi di tempat-tempat milik dan dilindungi umat Islam di Banten.Hingga 1750-an, akulturasi pun terjadi antara kedua kelompok masyarakat ini.
Pada 1761, dengan memori bersama perjuang an anti-Belanda itu, Gouw Tjay membangun sebuah masjid di Kampung Angke. Tempat ibadah yang kini dinamakan Masjid Jami al- Anwar itu pun terus memiliki fungsi perjuangan.
Beberapa kali, bangunan tersebut menjadi markas para pejuang yang menentang kolonialisme.Tempat yang sama pun pernah menjadi lokasi perundingan antara utusan dari Banten dan Cirebon.
Arsitektur khas
Menurut Jaumroni, corak bangunan Masjid Jami al-Anwar menunjukkan akulturasi budaya.Tampilan tempat ibadah ini memang sarat gaya arsitektur Cina, Banten, dan Hindu. Atapnya berbentuk cungkup, bersusun dua model khas Tiong kok. Pada ujungnya, terdapat bentuk kuncup melati.
List-plangkayunya bermotif ombak dengan bonggol kuncup melati yang tampak terbalik di setiap sudutnya. Kusen pintunya berdaun dua, seperti lumpang terbalik. Di permukaannya, terdapat motif ukiran.
Di halaman belakang masjid ini, ada beberapa makam, yakni kuburan Syekh Ja'far dan Syekh Syarif Hamid al-Qadri. Yang terakhir itu adalah seorang pangeran Kesultanan Pontianak yang saat masih hidup dibuang Belanda ke Batavia.a