IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pada Agustus 902, Taormina berhasil ditaklukkan. Inilah tonggak dimulainya pemerintahan Islam di Sisilia hingga 260 tahun. Di bawah bendera Dinasti Aghlabiyah, Sisilia menerapkan hukum Islam.
Penerapan syariat bukan berarti pengislaman masyarakat lokal, apalagi pemaksaan agama. Komunitas Nasrani dan Yahudi di sana bebas memeluk dan menjalankan keyakinan masing-masing. Mereka hanya diwajibkan untuk membayar pajak atau jizyah yang besarannya sekira 1 dinar per tahun. Pembayarannya pun sering kali dilakukan secara kolektif sehingga meringankan sekumpulan warga non-Muslim yang menghuni sebuah kota. Adapun zakat dibebankan kepada setiap orang Islam.
Aghlabiyah menjadikan Palermo sebagai pusat pemerintahannya di Sisilia. Otoritas pusat di Ifriqiyah menunjuk kepala daerah untuk memimpin masyarakat setempat. Kadi juga diangkat untuk mengatur urusan kaum Muslimin di pulau tersebut.
Ataullah Bogdan Kopanski dalam artikel Islam in Italy and Its Libyan Colony (720-1992)menjelaskan, Aghlabiyah pada awal abad ke-10 tidak hanya sukses menaklukkan Sisilia, tetapi juga Kepulauan Malta yang berjarak sekira 140 km dari pantai selatan pulau itu. Dengan demikian, kawasan Mediterania Tengah dapat dikatakan berada dalam genggaman wangsa Muslim tersebut pada kurun masa itu.
Kopanski menuturkan, Aghlabiyah dilanda kekacauan politik kala diperintah Abdullah II.Bahkan, amir tersebut kemudian dibunuh oleh anaknya sendiri yang bernama Abu Mudhar. Saat berkuasa, sang putra mengeklaim gelar Ziya d atullah III. Baru duduk di singgasana, ia menjatuhkan hukuman mati atas semua saudara lelaki dan pamannya.
Ziyadatullah III menghadapi berbagai gejolak dalam negeri. Upaya kudeta terutama datang dari gerakan Syiah Ismailiyah yang dipimpin Abu Abdullah asy-Syi'ah--kelak menjadi penasihat Abdullah al-Mahdi Billah, pendiri Dinasti Syiah Fathimiyah yang berbasis di Mesir.
Pada Februari 909, Abu Abdullah mengadakan pemberontakan besar-besaran. Bahkan, ibu kota Aghlabiyah kala itu, Raqqada, dapat dikepung pasukannya dari pelbagai penjuru. Ketika mereka dapat merangsek ke dalam istana, Ziyadatullah III ternyata lebih dahulu kabur ke arah timur. Amir tersebut memacu kudanya melewati Mesir dengan tujuan mencapai Baghdad untuk meminta Khalifah Abbasiyah mengembalikan kedudukannya. Hingga akhir hayatnya pada 911 M, permintaan itu tidak kunjung disanggupi sang khalifah Sunni.
Pada Maret 909, tamatlah riwayat Dinasti Aghlabiyah di tangan gerakan Syiah Ismailiyah.Pada tahun yang sama, Abu Abdullah bergabung dengan muridnya, Abdullah al-Mahdi, di Mesir.Sejak saat itu, tegaklah dinasti baru yang berhaluan Syiah di Negeri Piramida, Fathimiyah.
Secara otomatis, wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai Aghlabiyah menjadi milik Dinasti Fathimiyah.
Itu pula yang terjadi pada pulau terbesar se-Mediterania. Kekuasaan rezim Syiah itu di Sisilia bertahan selama dua dekade.Memang, perlawanan sempat bergulir, seperti yang dilakukan Ibnu Qurhub. Namun, mantan kepala daerah Tripoli untuk Aghlabiyah itu dapat ditangkap dan dieksekusi.
Pada 948 M, Raja Fathimiyah Ismail al-Manshur menetapkan Hasan bin Ali dari Bani Kalbi sebagai pemimpin Sisilia. Sepeninggalannya, pulau itu dipimpin putranya sendiri, yakni Abu al-Qasim Ali. Maka terbentuklah secara de facto?dinasti baru di sana, yakni Kalbiyah atau sering pula disebut Emirat Sisilia.
Abu al-Qasim alias Bolkasimos gugur dalam perang melawan pasukan kaisar Jerman, Otto II, di Crotone, Italia. Penerusnya berupaya menjaga stabilitas dalam negeri dengan meningkatkan kapasitas militer di perbatasan serta meredam konflik-konflik politik internal. Hasilnya, pada era amir Ja'far (983-985) dan Yusuf al-Kalbi (990-998) Emirat Sisilia mencapai masa keemasan