Khairu merupakan seorang warga Suriah berusia 22 tahun yang telah tinggal di Turki sejak 2018. Ia merasa tidak ada masa depan baginya dan setiap warga Suriah di daerah tersebut.
"Saya takut, pembunuhan mendadak atau deportasi biadab. Saya hanya ingin hidup tanpa rasa takut akan hari esok, karena ketakutan akan hari esok adalah kematian yang sangat lambat," lanjut dia.
Namun, ada kekhawatiran di antara beberapa anggota kelompok Telegram yang berkekuatan 100 ribu orang ini, bahwa deportasi ke Suriah dapat digunakan sebagai hukuman jika para pengungsi tertangkap mencoba menyeberang ke Yunani.
Seorang aktivis pengungsi Suriah terkemuka di Turki, Taha Elghazi, mengatakan dia memahami kekhawatiran di antara warga Suriah yang tinggal di negara itu, tentang rasisme dan kesengsaraan ekonomi. Di sisi lain, ia juga memperingatkan bahwa karavan ini kemungkinan akan gagal dalam tujuannya.
Tindakan keras oleh otoritas Turki di sepanjang perbatasan dengan Yunani, serta langkah-langkah Uni Eropa baru-baru ini untuk memperketat keamanan, memungkinkan adanya perlakuan brutal terhadap pengungsi ketika mereka dalam perjalanan tersebut. Ia juga menyebut pendekatan dengan konsep karavan ini tidak jelas dan dapat membahayakan mereka.
Para pemimpin karavan telah mendesak PBB mengambil tindakan melindungi pengungsi Suriah, dari semua bentuk pelecehan fisik, psikologis dan politik. Mereka juga meminta Uni Eropa untuk membuka pintu mereka untuk konvoi ini, atau menemukan solusi segera.
"Kami prihatin dengan keselamatan dan kesejahteraan mereka yang memutuskan untuk mengambil bagian dalam gerakan ini, yang berdasarkan pengalaman sebelumnya dengan gerakan terorganisir serupa di sekitar dunia, mungkin akan berisiko dan berbahaya," ujar juru bicara badan pengungsi PBB UNHCR Yuko Narushima.