IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Selain dari sejumlah manuskrip, keberadaan jam air Ridhwan Al-Saati juga dinyatakan oleh sejumlah pelancong yang pernah mengunjungi Damaskus. Salah satunya adalah Rabbi Benjamin dari Tuleda yang mengunjungi Damaskus antara 1159 dan 1174. Menurut dia, Damaskus memiliki sebuah sinagoge pengikut Muhammad (Masjid Umayah).
Benjamin menyatakan, salah satu bidang dinding bangunan itu dibuat dengan kekuatan ajaib. Pada dinding itu terdapat sebuah perangkat yang disinari matahari dan menunjukkan jumlah hari dari tahun matahari. Perangkat itu terbagi dalam dua belas tingkat untuk menyesuaikan waktu dalam sehari. Begitulah ungkapan Benjamin mengenai jam air yang fenomenal itu.
Pelancong lain, Ibnu Jubayr, menceritakan pula mengenai jam air itu saat ia melakukan perjalanan dan tinggal di Damaskus pada 1184. Gambaran dia tentang jam itu sangat mendekati apa yang diungkapkan dalam manuskrip Ridhwan al-Sa'ati. Sementara, gambaran yang dibuat pelancong lain, Ibnu Battuta, pada 1326, mendekati gambaran Ibnu Jubayr tetapi lebih ringkas.
Berdasarkan survei dan analisis terhadap semua literatur tentang jam Ridhwan al-Sa'ati, terungkap bahwa seorang insinyur dari Mesir bernama Abdullah Baylak al-Qabagaqi merupakan orang yang paling mengerti jam air itu. Dia melakukan observasi langsung terhadap jam itu, bahkan catatannya dimasukkan dalam salinan naskah asli al-Sa'ati.
Pada awal abad ke-20, seorang ahli fisika dan sejarah Jerman, Eilard Wiedemann dan Fritz Hauser, mempelajari perangkat jam air itu. Mereka bahkan mencapai tingkat pemahaman yang tinggi atas cara kerja jam tersebut. Lalu, mereka menerbitkan hasil penelitiannya pada 1915 dalam beberapa artikel. Sayangnya, mereka membuat gambaran yang tidak lengkap mengenai jam air itu. Sejumlah kesalahan pun muncul dalam penjelasan mereka.
Sejauh ini, ada tiga manuskrip yang mengungkap keberadaan jam itu. Pertama, manuskrip asli yang didiktekan sendiri oleh al-Sa'ati. Manuskrip itu sekarang tersimpan di perpustakaan Forschungsbibliothek di Gotha, Jerman. Kedua, salinan yang ditulis Baylak Abdullah al-Qabagaqi. Naskah tersebut lahir sekitar lima sampai enam tahun setelah keberadaan manuskrip asli. Naskah salinannya tersimpan di Istanbul, Turki. Sedangkan, manuskrip ketiga merupakan salinan naskah al-Qabagaqi. Kini naskah itu ada di Kairo, Mesir.