IHRAM.CO.ID, Oleh: Prof Dr Asep S Muhtadi
Saat azan Maghrib berkumandang, anak-anak mulai mengambil air wudhu dan memenuhi masjid-masjid kecil di sekitar rumah tempat tinggal mereka. Anak-anak pun mulai terbiasa melaksanakan shalat berjamaah, khususnya Maghrib dan Isya. Dan, di antara waktu itulah mereka mengaji. Sambil menunggu waktu Isya, mereka dibimbing oleh seorang ustaz yang biasanya menjadi imam masjid. Mulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga penyempurnaan bacaan. Inilah perwujudan sabda Nabi SAW, ”Sebaik-baiknya di antara kamu adalah orang yang belajar Alquran dan yang mengajarkannya.”
Untuk memenuhi kebutuhan berislam secara baik, anak-anak pun belajar di masjid atau langgar di sekitar rumahnya dengan guru mengaji seorang ustaz atau ajengan kecil. Begitu beranjak dewasa, mereka sudah terbiasa menjalankan kewajiban rukun Islam, seperti shalat dan puasa. Bahkan, mereka siap menjadi imam shalat di masjid, jika sewaktu-waktu diperlukan. Bacaan Alqurannya fasih meski tidak sebagus para qari-qariah. Mereka juga menguasai syarat-rukun dan kaifiyat (tata cara) beribadah lengkap dengan bacaan doa-doanya.
Sebuah pemandangan yang sangat menyejukkan. Bukan saja karena anak-anak dapat belajar membaca Alquran, tapi juga karena mereka otomatis terhindar dari berbagai aktivitas yang merugikan. Mereka terbimbing dalam pergaulan, sekaligus terbentuk dalam suasana sosial yang sehat dan agamis.
Sayangnya, pemandangan itu kini semakin langka ditemukan. Ceritanya sudah berubah. Bukan lagi mengalir menuju masjid, tapi malah menjauh dari masjid dan terkonsentrasi di depan televisi. Ustaz dan guru mengaji semakin kehilangan anak-anak mengaji. Wajar jika jumlah buta huruf Alquran semakin membengkak dari tahun ke tahun. Kemampuan membaca Alquran dan kebiasaan beribadah pun semakin menurun.
Di tengah kegelisahan masyarakat inilah, Menteri Agama Suryadarma Ali berinisiatif menghidupkan kembali tradisi di atas melalui program Gerakan Masyarakat Magrib (Gemmar) Mengaji. Suatu terobosan yang dapat melegakan, terutama ketika kebiasaan mengaji semakin meredup di masyarakat.
Di daerah tempat saya tinggal, Kota Bandung, misalnya, dengan menggunakan data sebaran anak di lembaga-lembaga pendidikan formal, terindikasi hanya sekitar 10 persen anak saat ini mengikuti kegiatan mengaji dan praktik-praktik ibadah lainya. Dari jumlah anak usia antara 6-12 tahun yang tengah menempuh pendidikan formal di Sekolah Dasar sebanyak 229.871 orang, hanya 23.858 orang yang tercatat sedang belajar mengaji khususnya belajar membaca Alquran. Mereka tersebar di madrasah ibtidaiyah (MI) sebanyak 9.909 orang, di lembaga pendidikan Alquran TPA/TPQ sebanyak 5.795 orang, dan di madrasah diniyah (MD) baik tingkat awaliyah (dasar) maupun wustha (menengah) sebanyak 8.154 orang.
Tentu ada anak yang dimungkinkan mengikuti kegiatan belajar Alquran di luar lembaga tersebut, seperti di rumah dengan memanggil ustaz sendiri. Namun, jumlahnya diduga kuat tidak signifikan.
Dalam bingkai potret masyarakat seperti inilah, upaya memelihara kembali tradisi mengaji akan menjadi tetesan air di tengah dahaga semakin meningkatnya angka buta huruf Alquran.