IHRAM.CO.ID, Pada 1988, kota ini dinyatakan sebagai kawasan cagar budaya dunia (world heritage) oleh UNESCO. Dua tahun kemudian, badan PBB ini langsung mengucurkan dana miliaran rupiah untuk mempermak kembali Timbuktu menyusul pelapukan hebat yang mendera kota bersejarah itu, terutama di tiga masjid besar : Djingareyber, Sankore, dan Sidi Yahia, trio mesjid tertua di kawasan Afrika Barat. Pada 2007, jutaan orang di dunia -- lewat voting lewat SMS -- mendaulat Timbuktu sebagai salah satu kandidat Tujuh Keajaiban Dunia yang Baru.
Seberapa hebat Timbuktu?
Inilah sang kota legenda itu. Timbuktu bagai menjadi saksi kebenaran kalimat Tuhan bahwa 'kekuasaan dipergilirkan atas manusia'. Berpenduduk 20 ribu jiwa, Timbuktu saat ini tak lebih dari sepotong kota debu di gurun pasir Afrika Sahara. Ia kota termiskin di Mali. Sementara Mali adalah negara termiskin di Afrika. Pesawat terbang seringkali gagal mendarat di bandara Timbuktu, saking carut martunya manajemen transportasi kota itu. Padahal dahulu -- 600 tahun lampau -- Timbuktu adalah salah satu daerah terkaya di dunia.
Selama separuh milenium Timbuktu adalah kota perdagangan terbesar di kawasan sub-Afrika Sahara. Posisinya yang sangat strategis membuat kota di utara Mali ini menjadi salah satu jalur terpenting di dunia perdagangan trans-Sahara. Jika Sahara berfungsi sebagai laut, Timbuktu adalah pelabuhan utamanya.
Timbuktu menjadi tempat persinggahan para pedagang Muslim yang membawa emas dari Afrika Barat menuju Eropa dan Timur Tengah. Lewat jalur yang sama, mereka kembali dengan membawa garam, gading, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Hingga abad 14, Timbuktu merupakan salah satu pusat perdagangan garam dan emas terpenting di dunia. Amat ramai. Uang melimpah ruah. Wajar jika kemudian Timbuktu menjadi kota utama dalam beberapa kekaisaran: Kerajaan Ghana, Kerajaan Mali dari tahun 1324, dan Kerajaan Songhai dari tahun 1468.
Timbuktu juga merupakan salah satu pusat ilmu intelektual terpenting Abad Pertengahan. Universitas Sankore dikenal sebagai Oxford-nya Afrika Barat. Lima puluh ribu ilmuwan Muslim belajar di sana. Timbuktu membangun perpustakaan megah Ahmed Baba, surga kekayaan umat Islam yang memiliki koleksi naskah ilmu pengetahuan karya ilmuwan Muslim selama lebih dari satu milenium. Terdapat lebih dari 20 ribu naskah Arab kuno di situ.
Setelah mengalami masa kejayaan berabad-abad, pamor Timbuktu mulai meredup memasuki abad ke-17. Aroma kejatuhan mulai terendus tatkala para pedagang mulai mengalihkan rute niaganya dari jalur trans-Sahara ke jalur laut melalui samudera Atlantik. 'Kota 333 Malaikat' -- julukan Timbuktu -- mulai kehilangan magnetnya sebagai lokasi transit para saudagar. Tahun 1894, bangsa Prancis menduduki Timbuktu melengkapi keterpurukan kota ini. Kini kejayaan Timbuktu hanyalah masa lalu. Ia menjadi sebuah legenda tentang kebesaran peradaban Islam.