IHRAM.CO.ID, Semasa kepemimpinan Rasulullah, bila beliau mendapat amanah zakat ataupun sedekah dari umat Islam di pagi hari, selepas zuhur zakat dan sedekah itu sudah terbagi habis kepada kaum fakir miskin. Demikian juga dengan harta rampasan perang yang diperoleh kaum Muslim. Biasanya, setelah selesai peperangan, beliau sendiri yang membagikannya tanpa ada yang tersisa.
Sistem yang diterapkan Rasulullah SAW ini kemudian diteruskan oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq RA hingga permulaan Khalifah Umar bin Khattab. Tetapi, dengan semakin luasnya kawasan yang dibebaskan dan daerah yang ditaklukkan, kekayaan dari rampasan perang juga bertambah, termasuk pemasukan dari kharaj dan jizyah (pajak). Semuanya masih diatur secara sangat sederhana.
Setiap negeri yang ditaklukkan, pihak Muslim mengadakan persetujuan dengan pihak yang ditaklukkan, berupa pembayaran jizyah sebesar dua dinar per kepala. Belum termasuk kharaj tanah yang harus dibayar para petani. Hasil kesepakatan yang didapatkan dari kharaj dan jizyah itu kemudian dibagikan untuk kepentingan umat Islam.
Meski sebagian hasil rampasan dan pemasukan dari kharaj dan jizyah ini sudah dikeluarkan untuk membiayai pembangunan berbagai fasilitas umum serta ketertiban hukum di daerah yang ditaklukan, kelebihan dari semua hasil pemasukan itu masih sangat besar. Kondisi tersebut memaksa Khalifah Umar bin Khattab RA untuk memikirkan suatu sistem moneter atau keuangan negara yang baru tumbuh itu.
Dalam beberapa sumber, dikisahkan bahwa sepulangnya dari menaklukkan Bahrain, Abu Hurairah RA menghadap Khalifah Umar dengan membawa uang 500 ribu dirham--jumlah yang sangat besar pada masa itu--sebagai hasil rampasan perang. Sejak saat itu, Umar membentuk lembaga keuangan khusus atau yang lebih dikenal dengan istilah Baitul Maal.