IHRAM.CO.ID,Konon, mihrab pertama kali mewarnai khazanah arsitektur masjid pada 88 Hijriyah atau 708 Masehi ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat gubernur Madinah Munawarrah pada masa Kekhalifahan Walid bin Abdul Malik. Umar bin Abdul Aziz pada masa jabatannya (708-711 M) memerintahkan untuk membangun kembali Masjid Nabawi. Pada proyek pemugaran dan perluasan Masjid Nawabi itulah pertama kali dibangun mihrab. Pembangunan Masjid Nabawi selesai pada 91 H atau 711 M. Saat itu, mihrab dibuat berbentuk ceruk pada dinding dan berfungsi sebagai penanda arah kiblat. Meski begitu, ada pula yang menyebutkan bahwa bentuk ceruk yang dimaksud pada masa itu sesungguhnya memiliki istilah thooq, bukan mihrab.
Awalnya, Masjid Nabawi yang dibangun Rasulullah SAW sekitar tahun 622 M hanya berukuran 30 x 35 meter. Setelah dilakukan perluasan bangunan masjid pada 708 M oleh Gubernur Madinah, Umar bin Abdul Aziz, mihrab mulai dibangun dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Masjid Nabawi.
Dalam perkembangannya, kini sedikitnya terdapat empat mihrab di masjid Rasul itu. Mihrab pertama, yakni Mihrab Nabi SAW yang terletak di bagian Raudah, terletak di antara mimbar dan makam Rasulullah. Kedua, Mihrab Usmani. Ketiga, Mihrab Hanafi--sekarang disebut Mihrab Sulaimani yang dibangun Togan Syekh setelah tahun 860 H. Mihrab ini dihiasi marmer putih dan hitam oleh Sulaiman I dari Kerajaan Ottoman pada 938 H. Keempat, Mihrab Tahajud, terletak di belakang bekas kamar Fatimah Az-Zahra.
Namun, ada pula yang menyebutkan mihrab di Masjid Nabawi ini berjumlah enam buah. Yang kelima, Mihrab Fatimah yang terletak di sebelah mihrab Tahajud. Dan, keenam adalah Mihrab Tarawih, yang sering digunakan imam Masjid Madinah saat memimpin shalat.
Menurut sejarawan Arab, Al-Maqrizi, pembangunan mihrab juga berlangsung pada masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Malah, pada masa itu, Mu'awiyah telah membuat peraturan bahwa bangunan mihrab harus ada di dalam masjid. Pada masa kepemimpinan Mu'awiyah, seorang gubernur bernama Qurra' Bin Syarik, telah memerintahkan pembuatan mihrab di Mesir dengan bentuk atap yang melengkung. Dalam perkembangannya, Dinasti Fatimiyah di Mesir mulai menghiasi mihrab dengan gelang-gelang perak. Tak heran bila di Masjid Al-Azhar, Mesir, dihiasi beragam ornamen yang nilainya mencapai lima ribu dirham.
Pada masa pemerintah Umayyah, ada yang menyebut mihrab sebagai tempat penting sehingga posisinya ditinggikan melebihi tempat shalat makmum. Ini berbeda dengan mihrab yang ada di masjid-masjid Iran. Di negeri para Mullah itu, posisi mihrab justru lebih bawah dari makmum. Meski terdapat beragam pendapat dan bentuk mihrab dalam dunia Islam, mihrab memiliki dimensi sosial budaya, yang paling bisa ditonjolkan secara visual. Wujud fisik mihrab memiliki peran sebagai media pengungkapan nilai-nilai atau budaya dari individu pelaku atau perancangnya, atau merupakan refleksi masyarakat Muslim di sekitarnya.