IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) mengajukan usulan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun ini naik dibanding 2022, sebesar Rp 514.888,02. Rata-rata BPIH yang diusulkan tahun ini adalah Rp 98.893.909,11, sementara rerata BPIH 2022 sebesar Rp 98.379.021,09.
Lantas, kenapa Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibayar jamaah dalam usulan pemerintah justru naik? Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief menjelaskan hal ini terjadi karena perubahan skema prosentase komponen Bipih dan Nilai Manfaat, yang mana pemerintah mengajukan skema yang lebih berkeadilan dengan komposisi 70 persen Bipih dan 30 persen nilai manfaat.
"Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jamaah haji Indonesia, termasuk yang masih mengantre keberangkatan, tidak tergerus habis," ujar Hilman Latief dalam keterangan yang didapat Republika, Sabtu (21/1/2023).
Menurutnya, pemanfaatan dana nilai manfaat sejak 2010 sampai dengan 2022 terus mengalami peningkatan. Pada 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan ke jamaah hanya Rp 4,45 juta, sementara Bipih yang harus dibayar jamaah sebesar Rp 30,05 juta. Komposisi nilai manfaat hanya 13 persen dan Bipih 87 persen.
Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi nilai manfaat terus membesar menjadi 19 persen (2011 dan 2012), 25 persen (2013), 32 persen (2014), 39 persen (2015), 42 persen (2016), 44 persen (2017), 49 persen (2018 dan 2019).
Tahun lalu, Arab Saudi menaikkan layanan biaya Masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji 2022, yang mana jamaah sudah melakukan pelunasan, penggunaan dan nilai manfaat naik hingga 59 persen. Hilman pun menyebut kondisi ini sudah tidak normal dan harus disikapi dengan bijak.
Nilai manfaat sendiri bersumber dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Karenanya, nilai manfaat adalah hak seluruh jamaah haji Indonesia, termasuk lebih dari 5 juta yang masih menunggu antrean berangkat. Mulai sekarang dan seterusnya, ia menyebut nilai manfaat harus digunakan secara berkeadilan guna menjaga keberlanjutan.
"Tentu kami juga mendorong BPKH untuk terus meningkatkan investasinya, baik di dalam maupun luar negeri pasca pandemi Covid-19 ini, sehingga kesediaan nilai manfaat lebih tinggi lagi," lanjut dia.
Jika komposisi Bipih dan Nilai Manfaat masih tidak proporsional, maka nilai manfaat akan cepat tergerus dan tidak sehat untuk pembiaayaan haji jangka panjang.
Jika komposisi Bipih 41 persen dan nilai manfaat 59 persen dipertahankan, diperkirakan nilai manfaat cepat habis. Padahal, Hilman menyampaikan jamaah yang menunggu 5-10 tahun akan datang juga berhak atas nilai manfaat.
Untuk itu, pemerintah Indonesia dalam usulan yang disampaikan Menteri Agama saat rapat kerja bersama Komisi VIII DPR mengubah skema menjadi Bipih 70 persen dan nilai manfaat 30 persen.
"Mungkin usulan ini tidak populer, tapi Pak Menteri melakukan ini demi melindungi hak nilai manfaat seluruh jemaah haji sekaligus menjaga keberlanjutannya. Ini usulan pemerintah untuk dibahas bersama Komisi VIII DPR. Kita tunggu kesepakatannya, semoga menghasilkan komposisi paling ideal! Amin," kata Hilman.