IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Penyelenggaran Haji dan Umrah Kementerian Agama (Dirjen PHU Kemenag) Hilman Latief meyakini keputusan biaya haji tahun ini akan membawa dampak besar ke depan. Gambaran perkiraan biaya haji di masa depan akan bisa terlihat jika berkaca pada ketentuan tahun ini.
"Saya yakin, keputusan tahun ini akan jadi titik tolak untuk membuat perkiraan haji 10 tahun ke depan. Misalnya, berapa persen kenaikan per tahun, inflasinya, dolar bagaimana, BPKH investasi bertambah berapa, baru ada rasionalitas yang mendekati riil dan harus diimbangi kebijakan baru," kata dia dalam acara Fokus Terkini "Di Balik Tata Kelola Dana Haji" yang disiarkan TVRI, Rabu (1/2/2023).
Ia menyebut, untuk saat ini perlu diakui proyeksi kenaikan biaya haji setiap tahun belum didefinisikan berapa wajarnya. Untuk tahun ini, Kemenag mengusulkan persentase biaya haji 70 persen jamaah dan 30 persen nilai manfaat.
Dirinya menyebut usulan ini memang banyak dianggap kurang wajar. Menurutnya, angka ini dianggap berat karena biaya haji tahun lalu terlalu rendah persentasenya.
Selama dua tahun tidak melaksanakan ibadah haji, Hilman menyebut ada jarak ketika menyusun asumsi biaya yang paling rasional, masuk akal dan mendekati. Namun demikian, usulan yang disampaikan itu telah melalui sejumlah perhitungan dan pertimbangan asumsi.
"Saat menyusun, kami melihat dolar itu sudah 15,18 dan trennya terus naik. Sehingga ada usulan menggunakan asumsi 15.300. Mudah-mudahan, ketika kondisi ekonomi semakin baik, dolar stabil, kita bisa kursnya moderat," lanjutnya.
Hilman juga menyebut, jika dibandingkan dengan biaya haji 2019, ada perbedaan yang cukup signifikan dari biaya masyair atau biaya haji empat hari di Arafah, Mina dan Muzdalifah. Kala itu, biaya masyair sebesar 1.800 riyal setara Rp 7,22 juta, naik menjadi 5.656 riyal setara Rp 22,71 juta.
Di luar kenaikan-kenaikan harga ini, ia menyebut Kemenag dan BPKH ingin memberikan proporsi yang paling tepat terkait biaya haji. Meski demikian, ia menyebut usulan 70:30 ini masih dibahas bersama dan ada kemungkinan berubah.
"Untuk menentukan berapa persen, kami harus hitung, berdiskusi dengan mitra kami BPKH, berapa sebenarnya ketersediaan dana dan kira-kira berapa yang proporsinya masuk sehingga dananya bisa tetap terjaga keberlanjutan, untuk membiayai jamaah yang akan datang," ucap dia.
Terakhir, ia pun menyebut perlu ada perubahan dari sisi regulasi terkait pembiayaan haji ini. Berdasarkan Pasal 52 UU No 8 tahun 2019, ada 13 item yang harus dibiayai oleh BPIH yang mana 11 di antaranya adalah ongkos langsung (direct cost).
Hilman menyampaikan, dari UU tersebut belum ada klausa atau penjelasan terkait mana yang bisa dibiayai oleh nilai manfaat dan mana yang dibayarkan langsung oleh jamaah. Sehingga, ke depan diharap muncul norma-norma dan penjelasan terkait itu.