IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Beredar informasi di masyarakat bahwa masa tinggal jamaah haji reguler Malaysia hanya 25 hari. Menanggapi hal ini, Direktur Layanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama (Kemenag), Subhan Cholid, menegaskan informasi ini keliru.
Adapun penegasan itu juga disampaikan untuk merespons pernyataan Anggota Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Amri Yusuf. Sebelumnya ia menyebut Indonesia perlu belajar dari Malaysia, yang bisa menyelenggarakan haji dalam durasi 25 hari karena meniadakan Arbain.
"Mengatakan durasi haji Malaysia 25 hari itu keliru," kata Subhan dalam keterangan yang didapat Republika, Ahad (19/2/2023).
Menurutnya, masa tinggal jamaah haji Malaysia jauh lebih lama dari Indonesia. Padahal, masa tinggal jemaah haji Indonesia saja sudah 40 hari.
Dirinya pun menyebut sudah melakukan komunikasi dengan Datuk Sri Syed Saleh, Kepala Tabung Haji Malaysia. Jamaah haji Malaysia dijadwalkan sudah berangkat pada 1 Zulkaidah, lebih awal dari Indonesia yang dijadwalkan berangkat 4 Zulkaidah.
"Sementara Bandara Arab Saudi, baik Jeddah maupun Madinah, baru dibuka kembali untuk proses pemulangan jemaah pada 15 Zulhijjah. Kalau rentang hari Zulkaidah 29 sampai 30 hari, maka dipastikan masa tinggal jemaah haji reguler Malaysia lebih dari 45 hari," lanjut dia.
Tidak hanya itu, Subhan menyampaikan informasi masa tinggal jamaah haji reguler Malaysia sebenarnya bisa dicek dari publikasi website Tabung Haji. Di situ diinformasikan kloter pertama berangkat 1 Zulkaidah dan pulang pada 18 Zulhijjah.
"Jadi masa tinggal antara 47 atau 48 hari, bukan 25 hari seperti disampaikan BPKH," ujarnya.
Anggota BPKH Amri Yusuf sebelumnya dikabarkan menyarankan agar penyelenggaraan haji Indonesia belajar dari Malaysia, yang bisa dilakukan 25 hari. Pernyataan ini ia sampaikan dalam diskusi BPIH Berkeadilan dan Berkelanjutan di Gedung PP Muhamadiyah, Jakarta Pusat, Jumat (17/2/2023).
Saran ini ia sampaikan demi menekan biaya haji agar tidak terlalu tinggi. Menurutnya, Malaysia telah meniadakan ibadah arbain atau shalat wajib sebanyak 40 kali berturut-turut selama delapan atau sembilan hari di Masjid Nabawi, sejak empat tahun lalu.
Ia juga menyebut langkah pemerintah Malaysia itu telah membuat ibadah haji jamaahnya menjadi lebih efisien dan lebih cepat. Namun, ia juga tidak menampik jika sarannya tidak mudah untuk dieksekusi. Hal ini disebabkan untuk Sebab, harus dibicarakan terlebih dahulu dengan Majelis Ulama Indonesia atau MUI.
“Nah apakah Indonesia akan berani mengambil sikap seperti itu, ini perlu diskusi di kalangan ulama. Harus ada konsesus nasional apakah dalam proses penyelenggaraan haji itu tetap mempertahankan arbain,” ujar dia kala itu.
Belakangan, Amri menyatakan terima kasih atas koreksi yang disampaikan oleh Kementerian Agama. Soal usulan jumlah hari agar lebih singkat seperti Malaysia yang tanpa Arbain, menurut dia, harus dikalkulasi ulang dan pihak yang paling berwenang dan mengetahuinya yakni Kementerian Agama.