IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Haji merupakan ibadah wajib bagi yang mampu untuk menunaikannya. Jika laki-laki dapat menunaikan haji dengan seorang diri, bagaimana hukumnya jika perempuan berangkat haji tanpa didampingi mahram?
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, para ulama saling berselisih pendapat mengenai hukum perempuan berangkat haji seorang diri. Menurut Imam Malik dan Imam Syafii, perempuan tidak harus untuk berangkat haji didampingi mahram atau bahkan harus mengantongi izin suami terlebih dahulu.
Seorang wanita boleh berhaji bersama teman yang bisa dipercaya. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan beberapa ulama lain, keberadaan mahram atau izinnya merupakan syarat wajib. Namun demikian menurut Imam Ahmad dalam versi pendapatnya yang lain, muhrim termasuk syarat sunnah bukan wajib.
Silang pendapat para ulama ini karena ada pertentangan antara perintah haji dengan larangan kepada seorang wanita berpergian selama tiga hari tanpa didampingi mahramnya. Itulah yang ditetapkan dari riwayat hadis Abu Said Al-Khudri, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Ummar.
Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “La yahillu li-imroatin tu'minu billahi wal-yaumil-akhiri an tusaafiro illa ma'a dzi mahramin,”. Yang artinya, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berpergian, kecuali bersama mahram,”. (HR Bukhari dan Muslim).
Ulama-ulama yang cenderung pada dalil umum mengatakan, seorang wanita boleh pergi haji, walaupun ia tidak disertai mahram. Dan ulama-ulama yang mentakhsish (merinci) dalil umum tersebut dengan hadis tadi, atau menurut mereka hal itu menafsiri masalah syarat mampu, mereka mengatakan, seorang wanita tidak boleh pergi haji tanpa didampingi mahramnya.
Kapan ibadah haji diwajibkan?
Para ulama juga saling berselisih pendapat tentang waktu ditunaikannya ibadah haji. Yang jelas menurut murid-murid Imam Malik dari generasi belakangan, boleh ditunda. Sementara menurut para ulama Baghdad dari murid-murid Imam Malik, harus seketika.
Dalam masalah ini pendapat Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya beragam. Tetapi menurut pendapat yang populer di kalangan mereka, harus seketika. Menurut Imam Syafii, tidak harus seketika tetapi dilonggarkan. Dasar ulama-ulama yang berpendapat itu longgar ialah, sesungguhnya ibadah haji baru diwajibkan dua tahun sebelum Nabi Muhammad SAW menunaikannya.
Seandainya harus seketika, tentu beliau tidak akan menundanya. Dan seandainya tertunda karena ada udzur, tentu beliau menjelaskannya. Sementara hujjah ulama-ulama yang berpendapat kewajiban haji itu seketika ialah, bahwa waktu pelaksanaan haji itu terbatas. Sama seperti waktu untuk shalat.
Sehingga bagi orang yang sudah mampu, ia berdosa jika tidak menunaikannya seketika. Menurut mereka, beda antara haji dengan shalat ialah bahwa kewajiban iabdah haji itu berulang-ulang sesuai dengan berulang-ulangnya wkatu, sedangkan kewajiban shalat itu berulang-ulang sesuai dengan berulang-ulangnya waktu.
Secara keseluruhan, ulama-ulama yang menyamakan awal waktu ibadah haji yang muncul belakangan pada orang mukallaf yang sudah mampu dengan shalat yang masih di awal waktu, mereka mengatakan kewajiban menunaikan ibadah haji boleh ditunda.
Ulama-ulama yang menyamakannya dengan shalat yang sudah berada di akhir waktu, mereka mengatakan bahwa kewajiban menunaikan ibadah haji harus seketika. Kalau batas waktu untuk shalat disamakan dengan batas waktu haji, maka orang yang sudah mampu berhaji pada tahun ini wajib menunaikannya pada tahun ini pula, karena kewajiban tersebut ada di tahun ini.