Kamis 16 Feb 2017 11:16 WIB

Menangis dan Berpelukan dengan Jamaah Haji Indonesia: Kisah Naik Haji Jurnalis Asal Yerusalem

Sejumlah jamaah haji  berdoa  di bukit Jabal Rahmah saat melaksanakan ibadah wukuf di Arafah, Senin (14/10).  (AP/Amr Nabil)
Sejumlah jamaah haji berdoa di bukit Jabal Rahmah saat melaksanakan ibadah wukuf di Arafah, Senin (14/10). (AP/Amr Nabil)

Masjidil Haram, Ka’bah, Arafah, Mina dan seluruh prosesi ibadah haji adalah pesona impian bagi seorang Muslim. Semenjak dahulu kala pergi haji adalah sebuah bentuk ibadah yang bertujuan menyempurnakan ke-Islaman. Memang pada satu sisi ibadah haji merupakan ibadah yang berdimensi fisik, tapi di sisi lain kalau sadar akan maknanya maka merupakan ibadah untuk mencapai kesempurnaan spritual. Maka tak heran ibadah haji selalu dirindukan serta selalu mengharu biru batin bagi setiap orang yang pernah melaksanakannya.

Maka berikut ini catatan Diaa Hadid, jurnalis asal Yerusalem yang menjadi koresponden The New York Times ketika berhaji ke Makkah. Hadid melakukan ibadah haji di tahun 2016 atas undangan Kerajaan Arab Saudi bersama 100 wartawan lainnya yang datang dari berbagai negara. Berikut ini kisahnya:

Ketika pertama kali menginjakan kaki di Makkah untuk menjalankan ibadah haji ada pemandangan kecil yang begitu menarik perharian saya. Burung-burung bertebangan di seputar Masjidil Haram, jamaah makan es krim dengan begitu nikmat, hingga kesibukan banyak orang yang lalu lalang mendorong jamaah yang mengenakan kursi roda.

Selain itu saya pun terkejut dengan diri saya yang ternyata bisa begitu khusyuk berdoa di depan Ka’bah. Tak hanya itu para peziarah lain pun begitu hangat menyambut kehadiran saya seperti yang dilakukan oleh dokter ahli jantung asal Yaman, Mervat. Dengan kehangatan dan kerendahan hatinya dia perempuan bercadar ini bersedia mendoakan kami dengan cara bersujud di lantai Masjidil Haram. Dan memang saya menemukan begitu banyak peziarah baik laki-laki dan perempuan yang memberi tahu bahwa mereka terus mendoakan kami agar tetap mampu menjaga harapan dan impian.

Tentu saja, saya terlebih dahulu harus berterima kasih kepada pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang mengurus semua perjalanan jiarah sekaligus tugas jurnalistik saya bersama 100 wartawan dari seluruh dunia yang diundang meliput penyelenggaran haji pada tahun 2016. Kami mendapat status sebagai rombongan khusus VIP (tamu kerajaan). Tentu saja penginapan, makanan, minuman, tersedia dengan cukup. Bahkan, dalan prosesi puncak kami mendapat pengawalan dari seorang petugas perempuan Suadi yang bernama Raghdah. Dialah yang menuntut dan menjaga kami melewati kerumunan lautan manusia ketika hendak melontar jumra

Tentu saja selama di Makkah itu saya harus belajar sabar. Misalnya selalu banyak kehilangan waktu ketika ingin melakukan liputan dan pengambilan foto. waktu tidur pun menjadi semakin pendek, bahkan sangat jarang bisa tidur lebih dari empat jam dalam sepekan. Makan pun menjadi tak teratur. Kondisi ini semakin menyiksa karena terpaan udara panas yang menyiksa. Situasi ini makin tak nyaman karena fasilitas WIFI atau koneksi internet di Saudi yang tak begitu bagus sehingga memaksa saya harus menggerutu karena berjam-jam berada di luar ruangan.

Meski begitu, bagi saya yang berdarah warga negara campuran Australia, Lebanon, dan Mesir, namun dibesarkan dalam keluarga sekuler namun religius dengan mengacu pada nilai ajaran Islam, tetap menganggap bahwa ziarah ini adalah saah satu impian hidup yang selama ini begitu ingin diwujudkan. Dan saya pun bertanya-tanya bisakah jiarah haji ini bisa merubah sikap hidup saya?

sumber : the new york times
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement