Oleh Syahruddin el Fikri
REPUBLIKA.CO.ID, Bagi umat Islam di seluruh dunia, terlebih bagi jamaah haji, tentu tak asing dengan istilah jamarat, yaitu tempat melempar batu kerikil pada tiga buah tugu yang terletak di Mina. Tugu tersebut senantiasa dilempari dengan batu kerikil oleh jutaan jamaah haji.
Ketiga tugu tempat jamaah haji melempar batu itu masing-masing disebut dengan jumrah ula, wustha, dan aqabah. Tugu tersebut merupakan perlambang penolakan terhadap bujuk rayu setan yang senantiasa menggoda manusia.
Mengapa tugu itu dilempari dengan batu kerikil? Kisahnya berawal sekitar 4.000 tahun yang lalu, tepatnya pada 1870 SM, ketika Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS), bermaksud menyembelih putranya, Ismail.
Kisah perjuangan dan heroik ini, diabadikan Allah SWT dalam Alquran Surah Ash-Shaaffaat [37] : 100-111. Dalam peristiwa tersebut dikisahkan, saat Ibrahim bermunajat kepada Allah, agar ia dianugerahi seorang putra sebagai penerusnya. Dan doa Nabi Ibrahim dikabulkan oleh Allah SWT. Ia dianugerahi seorang putra yang bernama Ismail.
Ketika Ismail beranjak dewasa, Allah memerintahkan Ibrahim melalui mimpi agar menyembelih putranya tersebut. Ketika ia menyampaikan hal itu kepada Ismail, anaknya ini dengan tegas mengiyakan apa yang telah diperintahkan. Maka, Ibrahim segera menyiapkan segala sesuatunya untuk penyembelihan Ismail.
Saat detik-detik yang menentukan itu tiba, mata pisau yang sudah berada di atas leher, Allah menyeru Ibrahim, agar segera menghentikannya. Allah menyatakan bahwa Ibrahim benar-benar telah melaksanakan mimpinya dengan benar. Maka, Dia kemudian menggantikan Ismail dengan seekor kambing untuk disembelih.
Kisah yang sangat inspiratif ini, kemudian menjadi perlambang bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah kurban, setiap 10 Dzulhijjah hingga tiga hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah).
''Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.'' (QS Al-Kautsar [108] : 1-3).
Pada prinsipnya, bukanlah daging hewan kurban yang diterima oleh Allah SWT, melainkan niat tulus dan keikhlasan serta ketakwaan dari para pekurban.
''Daging-daging (hewan) dan darahnya (yang kamu kurbankan) itu, sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.'' (QS Al-Hajj [22]: 37).