Sabtu 26 Oct 2013 11:25 WIB

Hotel Baru, Ada Turki di Situ

Jamaah Haji Turki (ilustrasi)
Foto: today zaman
Jamaah Haji Turki (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nur Hasan Murtiaji

Mengirimkan 170 ribu orang dalam kurun waktu dua bulan ke negara orang, bukan pekerjaan sembarangan. Orang yang dikirim pun tak memiliki standar pengetahuan, bahasa, usia, dan kesehatan yang sama.

Keberadaan mereka di negara orang itu pun tidak di satu tempat. Mereka berpindah, dari satu kota ke kota

lain, dari satu wilayah ke lokasi lain, dengan target-target waktu yang mesti tepat dan tidak boleh meleset.

Target waktu yang tidak terpenuhi, misalkan, tiba di Arafah saat wukuf lewat dari waktu Maghrib, menjadikan

ibadah haji sang jamaah tak sah.

Yang masih mungkin disamakan hanyalah satu dalam tujuan, yakni menunaikan prosesi ibadah haji. Persoalan krusial yang menyertai pergerakan jamaah haji, di antaranya, pemondokan dan transportasi.

Dua layanan penting yang sangat krusial dampaknya. Kementerian Agama cukup agresif berdiskusi dengan negara pengirim jamaah haji terbanyak, seperti Pakistan, Turki, India, dan Nigeria.

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Anggito Abimanyu berusaha menyerap ilmu bagaimana negara-negara itu memberikan layanan pemondokan dan transportasi bagi jamaahnya.

Dari Pakistan, misalkan, perhajian di Pakistan itu lebih sederhana karena menggunakan sistem tertutup,

sehingga tidak ada antrean.

Apalagi, 50 persen jamaahnya ikut haji khusus, sisanya haji reguler. Pemerintah Pakistan hanya mengurus 50 persennya saja dari tahun ini yang kuotanya 109 ribu jamaah.

Haji reguler Pakistan terbagi lagi dalam tiga strata; premium, medium, dan bawah. Jamaah yang diurus yang strata bawah saja. Dirjen Haji Pakistan juga mempunyai kantor di Makkah dengan karyawan lebih banyak dan sistem lebih canggih.

Kekurangannya, Pakistan tak punya uang seperti Indonesia yang ada di tabungan dari jamaah. Konsekuensinya,

Pakistan tidak bisa secara mendadak mengontrak perumahan jamaah haji di Makkah karena harus menunggu persetujuan di APBN-nya dulu.

Akibatnya, harga rumah selalu mendapat yang mahal dan pilihannya lebih sedikit. Hal yang tak terjadi pada

Indonesia.

Kelebihan lain jamaah Pakistan lebih kuat secara fisik. Tapi, kekurangannya, jamaah lansia Pakistan lebih

banyak dari Indonesia.

Sedangkan, untuk mobilitas jamaah, Pakistan punya sistem yang lebih modern. Mereka menyewa bus, tidak

berkontrak dengan perusahaan otobus.

Misalkan, sewa 100 bus. Mereka atur sendiri alokasi bus itu, mau dikemanakan. Dalam hal ini, Pakistan

memiliki sendiri perusahaan angkutan bus.

Adapun soal rumah, jamaah Pakistan hanya tersebar di tiga wilayah, tidak seperti Indonesia yang bisa sampai 10 daerah.

Jamaah Pakistan tersebar di satu hotel, daerah Misalah, dan Aziziyah sebagai kawasan penampung jamaah

terbanyak (80 persen).

Bagaimana dengan Turki? Ternyata, saat ini, di mana ada hotel baru, di situ ada orang Turki. Turki pun

memilih menggunakan hotel baru meski jarak dari Masjidil Haram tujuh kilometer.

Sedangkan, pemondokan jamaah Indonesia paling jauh 2,5 kilometer. Persoalan jarak bisa dipecahkan dengan penggunaan sarana transportasi bus yang nyaman.

Selain Turki, Pakistan dan India pun menempuh strategi serupa. Mereka memilih menjauh dari Masjidil Haram, tapi hotelnya nyaman.

Jangan sampai, Indonesia merasa yang terbaik penyelenggaraan hajinya, tapi setelah dibanding-bandingkan dengan negara lain, masih lebih bagus mereka. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement