Oleh: Damanhuri Zuhri
Pakar Tafsir dari Universitas Al Azhari Kairo Mesir Prof Dr HM Quraish Shihab dalam bukunya Haji dan Umrah Bersama M Quraish Shihab menyebutkan, kata haram terambil dari akar kata yang bermakna larangan dan pengetatan.
Kata haram ini sering kali diperlawankan dengan kata halal yang antara lain bermakna pelepasan dan penguraian, seperti misalnya tali yang mengikat sesuatu bila ikatannya dilepas atau diurai.
Makna ini kemudian berkembang menjadi berarti boleh. Sedangkan kata haram berkembang maknanya sehingga menjadi berarti hormat.
Menurut Direktur Pusat Studi Alquran (PSQ) ini Tanah Haram adalah tanah atau wilayah yang terlarang bagi para penganiaya, agresor dan semacamnya, atau wilayah yang mempunyai kehormatan dan harus dihormati.
Masjidil Haram adalah masjid yang penuh dengan kehormatan, sekaligus harus dihormati. Kata haram yang dirangkai dengan masjid, bukannya dalam arti haram menurut tinjauan hukum Islam, walaupun makna ini juga terambil dari akar kata yang sama.
Kita semua tahu, semakin terhormat sesuatu, semakin banyak pula larangan yang berkaitan dengannya. Bukankah jika kita menghadap seseorang yang dihormati, maka ada beraneka peraturan, larangan dan ketentuan protokoler yang menyertainya?
Berbeda bila bertemu dengan orang kebanyakan. Untuk pakaian saja, sudah ada ketentuannya. Misalnya, dilarang memakai jeans atau sandal jepit. Tetapi harus memakai pakaian resmi dan bersepatu.
Dilarang juga datang terlambat dari waktu yang telah ditentukan. Misalnya harus datang 30 menit sebelumnya. Mengapa timbul beberapa larangan dan ketentuan itu? Jawabannya karena yang akan ditemui adalah orang yang terhormat.
Jadi, penghormatan mengasilkan larangan-larangan atau ketentuan-ketentuan, antara lain lahir dari penghormatan atau kehormatan.