Selasa 02 Sep 2014 12:30 WIB

Hajinya Kiai Yusro

M Subarkah
Foto: Dokpri
M Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, wartawan senior Harian Republika dan pengamat haji

‘’Pergi haji bagi yang mampu!’’ Kaidah rukun Islam ini sangat dipahami semua Muslim, termasuk Kiai Ahmad Yusro yang mengasuh sebuah pesantren di dekat kawasan Cilacap bagian barat. Wilayah ini tak jauh dari Sungai Cintanduy yang merupakan batas alami provinsi Jawa Barat dan Tengah. Pada soal haji ini dia mengaku dalam beberapa perbincangan bila semenjak muda hingga usia 80 tahun sangat ingin naik haji.

‘’Tapi apa daya. Di kala muda tak ada dana karena terkuras untuk mengurus pesantren dan kebutuhan keluarga. Ketika sudah lebih dari 75 tahun antrean haji sudah begitu panjang, ‘’ katanya sembari menggeleng-gelengkan kepala. ''Pahala  setara dengan haji saya mungkin bisa didapat dengan cara melakukan shalat Jumat tanpa putus dalam jangka lama,’’ tukas dia sembari mengutip sebuah hadis.

                                                      ******

Semenjak muda Kiai ini dikenal sangat ‘qaanah’. Dia tidak gentar atau silau dengan gemerlap dunia. Dia berikan harta dan jiwa secara total untuk mengurus pesantren yang dia bangun sendiri semenjak awal tahun 60-an. Tak ada pekerjaan lain selain mengajar santri aneka kitab kuning. Pekerjaan ini dilakukan tanpa jeda, pagi , siang, dan malam sampai akhir hayatnya. Jarang sekali bepergian. Kalau ke luar rumah hanya berjalan beberapa meter dari pintu rumahnya, yakni menjadi imam shalat di masjidnya. Sepanjang hidupnya berpuasa Daud. Sepanjang hayatnya selalu shalat tepat waktu. Shalat sunah dan tahajud tak pernah putus

Menurut dia, sewaktu muda keinginan naik haji memang sudah meluap. Apalagi hasil sawah yang dipunyai cukup untuk membiayai kepergiaannya. Saat itu nilai tukar hasil panenan seperti beras cukup mahal atau nilainya sebanding dengan harga komoditi  yang lain. Dengan kata yang sederhana: hidup sebagai kiai yang petani saat itu bisa diandalkan!

Adanya kenyataan itu, Kiai Yusro pun kerap berseloroh kepada adiknya yang menjadi pegawai negeri bahwa ia akan bisa pergi ke Makkah lebih dulu. ‘’Ongkos pergi haji tertutup dengan beberapa kali panenan padi. Nah, saat itu ‘sliramu’ (bahasa Jawa halus untuk menyebut kamu) yang pegawai tentu sulit kan. Tapi itu zaman dahulu. Sekarang berbeda kan?’’ kata Kiai Yusro kepada adiknya pada suatu waktu.

Pernyataan itu dijawab dengan anggukan kepala. Sang adik membenarkan gaji pegawai di awal 1960-an sangat kecil. Berbeda jauh dengan penghasilan mereka yang punya sawah lebar seperti kakaknya tersebut.

Sayangnya, tingginya komoditi hasil produksi petani itu tak mampu bertahan lama. Ketika datang masa Orde Baru,  saat itu munculah kebijakan yang menyatakan agar ketersediaan pangan harus tetap terjaga. Akibatnya, agar semua orang Indonesia tetap bisa makan, maka harga beras ‘ditahan’ pada level harga serendah mungkin. Nah, pada saat itulah nilai tukar komoditi petani, yakni beras, mulai berkurang atau minimal bertahan dengan risiko akan terus digerogoti nilai inflasi yang terus merayap naik.

Situasi seerti ini tentu berbeda dengan nilai jual komoditi non beras yang tak diproduksi petani. Barang-barang pabrikan seperti  komoditi eletronik, malah nilai tukarnya atau harganya dibiarkan terus meambung . Pertumbuhan ekonomi tak menetes ke bawah. Minimal tak menetes ke pesantren milik Kiai Yusro yang jauh di pelosok. Lagi-lagi, kepedulian pemerintah itu makin melorot karena kelompok penguasa yang saat itu berkuasa cenderung mempunya aliran politik ‘anti Islam’. Tak aneh bila kemudian pesantren dibiarkan hidup seadanya: layaknya kerakap tumbuh di batu!

Maka Kiai Yusro mau tidak mau harus bisa mempertahankan hidup keluarga dan pesantrennya. Dan itu berhasil dilakukan walau dengan situasi yang serba pas-pasan. Meski tak pernah secara langsung dikatakan, beratnya beban ekonomi itu tampak jelas seiring kondisi putra-putrinya yang mulai beranjak dewasa. Impian untuk pergi haji yang sebelumnya membara sedikit demi-sedikit memudar termakan waktu. Situasi ini dijalani hingga mendekati usia 75 tahun.

Namun ada kisah lain yang kemudian terjadi. Pada suatu hari tiba-tiba dia kedatangan tamu. Tak tanggung-tanggung tamu tersebut kepadanya mengaku sebagai mantan salah satu jenderal di kepolisian. Awalnya Kiai Yusro terkejut mendengar pengakuannya. Apalagi selama ini sudah banyak datang tamu dengan berbagai macam keperluan. Tapi setelah diterangkan dia pun mahfum bahwa si jendral itu adalah salah satu teman kecilnya ketika mengaji di langgar kayu milik ayahnya. Dan yang lebih terkejut lagi karib kecilnya itu mengajaknya pergi ke Makkah.

‘’Kamu sudah haji belum,’’ tanya si jendral. Yusro menjawab dengan menggelengkan kepala:’’Ya belumlah. Uangnya dari mana?’’

Si jendral rupanya paham kalau naik haji kini tak bisa mendadak seperti dulu. Bahkan antrean naik haji sekarang sudah mencapai 16-20 tahun. Menyadari hal itu maka Kiai Yusro pun diajak pergi berumrah bersamanya. Menurut si jendral, Yusro pantas mendapat hadiah umrah karena sudah lebih 50 tahun mengajar para santri tanpa mengeluh dan tanpa meminta imbalan.

’’Meski kamu belum haji status umrah ini pahalanya sama dengan yang naik haji. Kamu mampu istiqamah di jalan mulia tapi sunyi ini. Manusia langka!,’’ ujar sang teman. Maka mereka pun dalam beberapa waktu kemudian pergi umrah bersama.

                                                                ****

Sepulang umrah tampak ada kepuasan di wajah Kiai Yusro. Ini terlihat ketika dia menceritakan segala aktifitasnya selama di Makkah dan Madinah. Apa yang diimpikan semenjak masa kecilnya terwujud. Meski bukan pergi haji, dia sudah mampu hadir di sisi Ka’bah melalui umrah.‘’Ya senanglah. Tapi sayang saya harus naik kursi roda. Rasanya badan capai banget ketika tawaf dan sa’i,’’ ujarnya.

Namun keceriaan ini tak berlangsung lama. Sekitar satu setengah tahun ke depan Kia Yusro wafat. Tapi, dalam pertemuan silaturahim lebaran Idul Fitri setahun silam dia sebenarnya sudah memberikan isyarat atau perlambang bahwa tak lama lagi dia harus berangkat pulang ke haribaan Sang Khalik. Katanya, ''Allah belum mengabulkan permintaannya yang terkini. Apa permintaan itu..?'' Dia kemudian menjawab:”Ingin segera mati!”

‘’Lha permintaan ini memang beda dengan orang-orang yang datang ke sini yang minta didoakan agar  sukses dalam urusan dunia seperti  tak akan mati. Tapi saya beda, saya yang malah memilih minta mati malah tak dikabulkan. Mereka yang datang ke sini minta didoakan agar terus hidup, eh malah diberi Allah  mati. Nah, pasti ini belum masanya. Sabar saja,’’ katanya dengan nada datar dengan mengulum senyum.

Kiai Yusro mengaku tak lagi risau akan dunia ini. Tak lagi risau dengan anak dan isteri. Semua dipasrahkan kepada Allah selaku pihak ‘Maha Pelindung’. Menurut dia dengan menemui kematian maka itu menjadi fase awal bertemu dengan Allah. Tak ada kerisauan bila maut setiap saat datang menjemutnya.

Akhirnya, di awal Januari silam, malaikat maut benar-benar menjemput Kia Yusro. Kabar duka segera beredar. Keluarganya memang tampak sedih tapi mereka tegar menghadapinya. Yusro dimakamkan dengan upacara kebesaran ala seorang pengasuh pesantren. Dari masjid hingga tempat pemakamannya para santri dan mantan santrinya berjejer untuk secara estafet membopong jasadnya. Banyak orang meneteskan air mata melihat cara penguburan itu. Menurutnya hanya orang yang besar dan saleh yang dimakamkan dengan model seperti itu.

Yusro kini benar-benar berada di sisi Sang Khalik. Impian hajinya memang tak kesampaian. Padahal sudah banyak leluhur dia tercatat  pergi ke Makkah semenjak awal tahun 1900-an.  Malah ada yang meninggal dalam perjalanan ketika berhaji ke Makkah.

Maka bila ada yang tahun ini bisa berangkat haji, segera bersyukurlah. Datangnya kesempatan itu merupakan karunia tak ternilai dari Allah. Untuk itu jangan sekali-kali kau dustakan nikmat tersebut!  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement