Kamis 18 Sep 2014 15:24 WIB

Beratnya Ibadah Haji

Jamaah haji mabit di Mina, Arab Saudi.
Foto: Republika/Heri Ruslan/ca
Jamaah haji mabit di Mina, Arab Saudi.

Diasuh oleh: Ustaz HM Rizal Fadillah

Assalamualaikum wr. wb.

Ustaz, saya bersama istri tampaknya akan berangkat haji tahun depan. Tapi, rasa waswas menyelimuti hati, selalu diingatkan persiapan yang matang. Beratkah ibadah haji itu? Bagaimana cara menenangkan hati agar dapat beribadah dengan baik nantinya?

Baskoro - Bekasi

Waalaikumussalam wr. wb.

Memang benar, banyak calon jamaah merasa takut dan khawatir kalau-kalau ibadah yang dijalankannya ternyata sulit dan berat karena ia harus melakukan semua proses itu di tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Kekhawatiran itu wajar, tapi perlu diyakini bahwa semua perintah Allah itu tidak akan keluar dari kemampuan hamba untuk melaksanakannya.

Allah itu sayang kepada hamba-hamba-Nya. QS al-Hajj 78 menyatakan, “Wa maa ja’ala ‘alaikum fiid dieni min harajin, millata abiikum Ibrahim (dan tidak menjadikan kesukaran bagimu dalam Agama. Ikutilah Agama bapakmu, Ibrahim."  

Bahkan, bagi mereka yang memiliki kekhawatiran tinggi karena kondisi (kesehatan, misalnya) maka demi kemudahan Rasulullah SAW membolehkan saat niat ihram menambahkan kalimat, “Fa in habasanii haabisun famahalla haitsu habastanii (Jika terdapat sesuatu yang menghalangiku, maka tempatku tahalul adalah ketika aku terhalang)."

Hal ini berdasarkan riwayat shahih ketika Nabi SAW memerintahkan Dhaba’ah binti Zubair bin Abdul Mutholib untuk menentukan syarat niat dalam haji ketika ia mengadukan jika dia sedang sakit.   

Sebagai ibadah perjalanan, status jamaah adalah musafir, karenanya berlaku hukum keringanan rukhshah. Ketika kesulitan mendapatkan air maka kita dapat melakukan taharah dengan cara tayamum. Shalat dapat dilakukan dengan meringkas qashar sebagaimana firman Allah dalam QS an-Nisaa 101, “Wa idza dhorobtum fiil ardli falaisa ‘alaikum junaahun an taqshuruu minash sholaati (Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tak mengapa kamu mengqashar shalatmu)."

Ketika kondisi tidak memungkinkan sewaktu tawaf dan sa'i, jamaah dapat menggunakan kereta dorong. Jika sakit waktu wukuf dan berada di rumah sakit, itu pun bisa dilakukan safari wukuf.

Mabit di Mudzdalifah ketentuannya sampai waktu subuh, tapi jika ada yang merasa lemah atau kaum wanita, Nabi membolehkan berangkat lebih dulu ke Mina pada malam hari dan langsung melontar jumrah aqabah saat tiba di Mina.

Rasulullah SAW membolehkan sebelum melontar mendahulukan tawaf ifadhah atau mendahulukan menyembelih hadyu pada  hari nahar. Semuanya dikomentari Nabi dengan “laa haraj” (tidak ada kesukaran). Kesulitan dalam melontar (jumrah) karena tua, sakit, atau lemah, menurut syariat, dapat diwakilkan.

Mengenai doa-doa, sedikit sekali doa yang dibakukan oleh Nabi untuk jamaah. Sebagian besar doa dipilih atau diformulasikan sendiri. Tidak usah gemetar dengan buku kumpulan doa karena bingung, tetapi bergetarlah kalbu saat berzikir dan berdoa dengan bahasa hati yang khusyuk dan dipahami.

Meski demikian, kemudahan ibadah ini bukan berarti semuanya harus dienteng-entengkan dan menghilangkan keseriusan kita dalam menunaikannya.

Sebab, maksud kemudahan adalah agar jamaah yang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci tidak dibayang-bayangi beban yang sangat berat yang menyebabkan seolah-olah ia tidak akan bisa berbuat apa-apa “laa yukalifullahu nafsan illa wus’ahaa”  (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya). QS al-Baqarah 286.

Agar hati mantap dan tenang untuk berhaji maka sebaiknya kita senantiasa bersyukur dan memperbanyak amal kebaikan, bertawakal, dan memasrahkan diri kepada Allah, berdoa memohon perlindungan dan kemudahan dalam beribadah, memperkuat tali kejamaahan, serta bergembira dalam melaksanakan ibadah tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement