Sabtu 07 Feb 2015 18:21 WIB

Kesthuri: Wacana Haji Khusus Dihapus, Cara Berpikir Salah (1)

Rep: c14/ Red: Damanhuri Zuhri
Manasik Haji Khusus
Foto: Republika/ Rakhmawaty La'lang
Manasik Haji Khusus

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana penghapusan penyelenggaraan ibadah haji khusus (PIHK) belakangan ini mencuat.

Terkait dengan itu, Wakil Ketua Umum Kesatuan Tour Travel Haji Umrah Republik Indonesia (Kesthuri), Artha Hanif, menilai wacana tersebut mengandung cara berpikir yang salah.

Sebab, menurut Artha, tidak ada hubungannya antara menghapus PIHK dengan memperpendek antrian calon jamaah haji reguler dari Indonesia.

“Saya lihat, ada cara berpikir yang tidak pas. Seolah-olah, antrian (calon jamaah haji reguler) makin lama, karena itu mesti dihapus haji khusus (PIHK),” ujar Artha Hanif saat dihubungi Republika, Sabtu (7/2) di Jakarta.

Artha mengakui, PIHK sering kali dianggap sebagai tempat bagi orang-orang Muslim yang berstatus ekonomi tinggi untuk melaksanakan haji berkali-kali. Sehingga, tidak sedikit yang memandang, hal itu hanya akan menambah makin panjangnya antrean calon jamaah haji.

Sebab, dalam pandangan itu, PIHK mengambil jumlah yang signifikan dari kuota haji yang tersedia—untuk tahun ini, misalnya, kuota haji Indonesia sebanyak 168.800 orang.

“Kuota haji itu untuk siapapun. Masyarakatlah yang bebas memilih, mau pakai haji reguler atau khusus (PIHK). Lagipula, haji berkali-kali itu kecil persentasenya karena sudah ada sistem di kami, yang sudah naik haji kemarin tertolak untuk haji lagi tahun ini,” terang Artha Hanif, Sabtu (7/2).

Bagaimanapun, kata Artha, kuota haji sejatinya merupakan hak seluruh orang Indonesia, tanpa memandang status ekonominya. Maka dalam pandangan Artha, yang menyebabkan antrean haji kian panjang ialah dibukanya pendaftaran haji reguler sepanjang tahun, bukan per tahun.

Karena itu, Artha menyarankan, agar pemerintah mengadakan penghentian sementara (moratorium) pendaftaran haji reguler.

“Kami usul, stop dulu (pendaftaran haji reguler). Lalu untuk tahun depan, pastikan kita dapat kuota berapa. Lalu, (calon jamaah) yang mendaftar duluan, dialah yang dapat tempat pada tahun berjalan. Atau, cari metode lain yang pas dengan mengundang semua pihak terkait penyelenggaraan haji,” ujar Artha Hanif.

Terakhir, Artha mengeluhkan wacana penghapusan PIHK kini dicuatkan, alih-alih persoalan lain. Misalnya, kata Artha, terkait menumpuknya dana setoran awal dari para jamaah haji yang dipakai sebagai dana segar oleh pemerintah melalui fasilitas Sukuk.

Oleh karena itu, Artha mengusulkan, agar tidak perlu membeda-bedakan antara PIHK dengan haji reguler. Karena keduanya, dalam pandangan Artha, sama-sama pilihan bagi masyarakat untuk berhaji.

“Atau kalau mau, tiadakan saja istilah haji reguler dan haji khusus. Biarlah biro travel yang menjadi satu-satunya penyelenggara haji. Sementara, pemerintah jadi regulator, yang bertugas mengawasi, memberi izin kepada biro travel dan memberikan sanksi untuk biro yang melanggar,” terang Artha Hanif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement