Selasa 15 Sep 2015 01:50 WIB

Ninjau Haji yang Ditunggu Anak-Anak

Jamaah calon haji asal Lhokseumawe menangis saat berpamitan dengan keluarganya sebelum keberangkatan di Aceh, Sabtu (12/9).
Foto: ANTARA FOTO/Rahmad
Jamaah calon haji asal Lhokseumawe menangis saat berpamitan dengan keluarganya sebelum keberangkatan di Aceh, Sabtu (12/9).

REPUBLIKA.CO.ID,NEGARA -- Tradisi ninjau atau mengantar jamaah calon haji di Kabupaten Jembrana, Bali, merupakan momen unik yang dilakukan turun-temurun dan ditunggu-tunggu masyarakat.

"Saya tidak tahu kapan tepatnya tradisi ninjau haji ini dimulai. Yang jelas, sejak saya kecil, tradisi ini sudah ada," kata Ustaz Sya'rani Yasin, salah seorang tokoh sepuh di Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Senin (14/9).

Yang unik dari tradisi ini, kata dia, setelah jamaah calon haji Kabupaten Jembrana diberangkatkan menuju Surabaya, Jawa Timur, masyarakat melanjutkan perjalanannya ke tempat-tempat rekreasi bersama keluarganya.

"Dulu iring-iringan pengantar jamaah calon haji bisa sampai ke asrama haji di Sukolilo, Jawa Timur, setelah jamaah masuk, pengantar melanjutkan rekreasi di kota itu. Tapi, sekarang paling jauh sampai di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, bahkan sebagian besar hanya sampai di Pelabuhan Gilimanuk," ujarnya.

Meskipun bergeser dari Surabaya ke Banyuwangi atau Gilimanuk, dia mengatakan, kebiasaan yang tidak berubah adalah mengunjungi objek-objek wisata secara beramai-ramai.

Karena sudah menjadi tradisi, saat hari ninjau haji dipastikan anak-anak yang bersekolah memilih untuk libur, termasuk pekerja informal seperti anak buah perahu di Desa Pengambengan.

"Kalau hari ninjau haji, sekolah-sekolah khususnya SD di desa ini banyak yang libur. Bukan karena tanggal merah, tapi karena tidak ada murid yang masuk. Mereka lebih memilih dimarahi guru karena membolos, dibanding tidak ikut ninjau haji," kata pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Pengambengan ini, sambil tersenyum.

Dari sisi sejarah, dia menduga, tradisi ini merupakan sambungan dari kebiasaan masyarakat tempo dulu, saat mengantar jamaah calon haji lewat jalur laut di muara Desa Perancak.

Ia menuturkan, zaman itu, jamaah calon haji berangkat dari muara tersebut dengan diiringi tangis kerabat serta tetangganya sehingga lokasi tempat bersandarnya perahu kayu untuk mengangkut jamaah calon haji ke Arab Saudi, disebut Tanjung Tangis.

"Untuk menunaikan ibadah haji, jamaah harus menempuh perjalanan di laut dengan perahu kayu sekitar enam bulan. Tangisan dari kerabat dan tetangga itu, karena belum tentu jamaah ini selamat sampai tujuan," ujarnya.

Di era modern dengan pesawat terbang sebagai transportasi, menurut dia, tradisi mengantar tersebut masih bertahan, tapi dalam bentuk yang lain.

Tangisan saat keberangkatan jamaah diganti dengan turut bergembira karena ada kerabat atau tetangganya yang mampu menunaikan rukun Islam kelima tersebut.

Banyaknya murid yang libur diakui oleh Alfina Laila, salah seorang guru di Desa Pengambengan. Setiap ninjau haji terpaksa pihak sekolah meliburkan murid-muridnya.

Rengekan anak untuk ninjau haji juga membuat orang tua tidak berdaya, bahkan juga rela ikut libur bekerja, untuk berangkat ke tempat-tempat wisata baik di Kabupaten Jembrana, Buleleng hingga Banyuwangi.

Selain dengan sepeda motor, banyak masyarakat yang urunan untuk menyewa angkutan umum seperti bus, serta mobil pribadi.

Di sisi lain, hari ninjau haji juga ditunggu-tunggu oleh pedagang di sentra kuliner lesehan ikan bakar di Dusun Pabuahan, Desa Banyubiru, karena biasanya saat pulang dari tempat wisata, masyarakat mampir ke tempat mereka untuk makan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement