REPUBLIKA.CO.ID,MAKKAH -- Musibah crane jatuh di kompleks Masjidil Haram, menjadi pertanyaan dari banyak teman yang disampaikan melalui media sosial atau pesan singkat (SMS).
Sesampainya di Tanah Suci Makkah, saya langsung ingin mencari tahu tentang hal itu.
Rasa ingin tahu para karib kerabat itu, saya rasa juga mewakili perasaan yang sama jutaan kaum muslimin di Tanah Air.
Bahkan menjelang keberangkatan saya ke Makkah pertengahan September lalu, mereka berpesan agar saya berhati-hati di Mekkah, menjauhi lokasi-lokasi yang sedang dalam pengerjaan renovasi.
Kekhawatiran teman dan karib kerabat itu bisa saya mengerti, karena pemberitaan di sejumlah stasiun televisi menggambarkan seakan seluruh bangunan Masjidil Haram runtuh tertimpa crane raksasa.
Padahal kenyataannya tidak seperti itu, bahkan sisi kiri Babussalaam atau pintu As Salaam atau yang tertimpa crane, hanya rusak sedikit di bagian paling atas bangunan Al Haram.
Ada lebih dari 100 crane besar dan kecil di sekitar bangunan Masjidil Haram untuk membantu meringankan para pekerja mempecepat renovasi Masjidil Haram. Crane yang roboh akibat sambaran petir hanya satu dari belasan crane berukuran raksasa di kawasan masjid itu.
Artinya, robohnya crane itu, menurut saya, tidak terlalu berarti terhadap pelaksanaan renovasi, apalagi terhadap kekokohan berdirinya Masjidil Haram. Kalau boleh diibaratkan, crane yang roboh itu mirip seperti uang logam yang jatuh di lantai dan bunyinya hanya berdenting.
Tapi, blow up media membuat bunyinya jadi berdentum.
Pandangan ini tidak berarti saya mengecilkan peristiwa itu, apalagi akibat crane yang roboh, sampai terdapat korban jiwa.
Tapi, bukankah Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah menyikapi dengan arif insiden itu, selain menyantuni keluarga korban, juga akan memberikan sanksi kepada perusahaan Bin Laden sebagai penggarap proyek.
Sejumlah jamaah calon haji berpandangan, insiden itu merupakan peristiwa yang bisa terjadi dimanapun dan tidak menciutkan nyali mereka.
Pertama karena memang di lokasi robohnya crane, kerusakan tidak begitu parah dan soal adanya korban jiwa, bahwa itu adalah takdir, ketentuan yang sudah dicatat oleh Sang Maha Kuasa.
Seseorang bisa meninggal dimana dan kapan saja, dengan sebab yang sama atau berbeda-beda. Di Masjidil Haram, tanpa ada musibah crane juga ada orang yang dishalatjenazahkan, artinya setiap harinya selalu ada orang yang meninggal, baik karena sakit, karena usia yang sudah uzur atau sebab-sebab lain.
Pemberitaan media di Tanah Air, memang kerap didramatisir dan mengabaikan laporan pandangan mata. Berita dikunyah begitu saja tanpa mencari sumber-sumber primer.
"Saya merasa bahwa berita yang kita dengar di Tanah Air terlalu dibesar-besarkan," kata Azwar Rustam, jamaah asal Bali yang tergabung dalam Kloter 57 Surabaya.
Soal korban jiwa yang mencapai ratusan orang, kalau diprosentasekan dari asusmsi jumlah jamaah haji sebanyak dua juta orang, maka korbannya hanya 0,00005 persen. Jadi berita itu bisa menjadi besar atau menjadi berita biasa, tergantung bagaimana cara memandangnya.