REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim pengawas haji DPR menilai bahwa pelayanan kesehatan bagi jamaan haji Indonesia belum maksimal. Kendala utamanya peralatan medis dan mobil ambulance yang sangat terbatas.
"Hal ini diketahui langsung berdasarkan penjelasan dari beberapa petugas balai pengobatan haji Indonesia (BPIH) di Makkah ketika tim pengawas DPR melakukan kunjungan," ujar Saleh Partonan Daulay kepada Republika, Rabu (23/9).
Meskipun terdapat juga klinik-klinik satelit yang buka di sektor masing-masing akan tetapi dengan keterbatasana peralatan medis dan tenaga para ahli, ini juga menjadi salah satu kendala pelayanan menjadi belum maksimal.
Selain itu, banyak juga obat-obatan yang dibutuhkan oleh pasien tidak bisa ditemukan di klinik-klinik satelit. Akibatnya, banyak para jamaah yang harus mencati sendiri obat tersebut ke apotek-apotek di luar sana.
"Kesulitannya, tidak semua jamaah bisa menjelaskan penyakitnya kepada apoteker. Karena itu, tidak jarang mereka juga tidak bisa membeli obat. Selain itu, tidak semua obat bebas diperjualbelikan di apotek-apotek Saudi," ujar Saleh Wakil Ketua Tim Pengawas Haji DPR RI.
Kemudian masalah yang kedua adalah ketersediaan ambulance yang terbatas. Seperti keterangan yang didapatnya dari petugas BPIH yang operasionalnya di bawah kementerian kesehatan hanya memiliki 9 ambulance. Sementara itu, 3 ambulan justru tidak dapat beroperasi.
"Kalau ada ambulance yang membawa pasien lalu mogok, tentu itu sangat riskan. Ambulance itu kan diperlukan untuk membawa pasien segera ke BPHI atau ke rumah sakit. Kalau mogok, ya itu akan menjadi masalah besar," ujarnya lagi.
Menanggulangi kekurangan ambulance, BPIH terpaksa meminjam mobil-mobil yang dimiliki Kementerian Agama. Sayangnya, mobil-mobil yang dimiliki kementerian agama banyak yang keluaran lama, sehingga terkadang ada yang bermasalah di tengah jalan.