REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Puspita dari Tanah Suci
MAKKAH -- Saya baru saja selesai shalat maghrib di pelataran Jamarat ketika melihat beberapa teman wartawan yang tergabung dalam Media Center Haji (MCH) berbicara dengan seorang pria Arab dan seorang jamaah perempuan Indonesia. Saya pun mendekat.
Si pria Arab memahami sebagian besar dari kami tidak dapat berbicara bahasa Arab. Dia pun berusaha menjelaskan dengan bahasa Inggris bahwa jamaah perempuan asal Indonesia itu terpisah dari suaminya usai melontar jumrah Aqabah, 10 Zulhijjah atau Jumat (23/9).
Perempuan itu bernama Gendok Karsimin Samping. Dia tergabung dalam Kelompok terbang (Kloter) SOC 17 Embarkasi Solo. Dia tidak bisa berbahasa Indonesia. Hanya bahasa Jawa. Dia mengungkapkan kekesalan karena suaminya terpisah. Setelah beberapa kalimat, saya menyadari rasa kesal itu sebagai ungkapan sayang.
Gendok kesal karena suaminya, Rasbu Ngajan Sadiman (80 tahun), sudah sepuh. Jalannya pun lambat. Tentu, dia sangat khawatir kalau suaminya menghilang. Mungkin, kekesalan itu juga bentuk kemarahan pada dirinya karena melepaskan genggaman tangan dari suaminya.
Mata Nenek Gendok sesekali basah ketika melihat ke arah Jamarat. Saya yang punya keterbatasan berbicara dalam bahasa Jawa langsung memanggil wartawan Koran Sindo Sunu Hastoro Fahrurozi. Sebab, Mas Sunu dapat berbahasa Jawa.
Saya minta tolong Mas Sunu agar Nenek Gendok mau diajak berjalan ke arah Tenda Misi Haji di Mina. Kami menjanjikan dia bakal segera bertemu suaminya. Namun, Nenek Gendok bergeming.
Dia tidak mau bergerak, hanya memandangi arah Jamarat yang menjadi lokasi 'perpisahan' dengan suaminya. Berkali-kali diajak, dia tetap menolak. Lalu, dia bilang, dia hanya akan berjalan kalau bersama suaminya. Mendengar jawabannya, saya hanya tersenyum.
Akhirnya, saya bertanya pakaian apa yang dikenakan Pak Rasbu. "Ihram," kata Nenek Gendok. Saya juga bertanya ciri-ciri lain. Nenek Gendok menjelaksan, suaminya tinggi, kurus, dan berihram, serta membawa tas selempang hijau seperti miliknya.