REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: EH Ismail dari Tanah Suci, Makkah
Di sela-sela bertugas di Makkah, saya ikut rombongan tim media center haji (MCH) Daerah Kerja Madinah berumrah. Saat itu, mereka baru tiba usai menyelesaikan pekerjaan melayani jamaah haji Indonesia di Madinah.
Para petugas Daker Madinah baru berdatangan untuk mempersiapkan pelayanan jamaah haji selama di Mina. Masa Arafah-Muzdalifah-Mina memang belum mulai, sehingga ada sedikit kelonggaran waktu untuk dimanfaatkan berumrah.
Pergi dari pemondokan di Hotel Royal Makkah jam 01.15 dini hari, saya dan rekan-rekan MCH Madinah lebih dulu mengambil miqat di Tan’im. Disinilah salah satu tempat miqat yang biasa dipakai oleh jamaah umrah bagi penduduk Kota Makkah dan mukimin. Setelah shalat dua rakaat di Masjid Siti Aisyah di Tan’im, kami pun melanjutkan perjalanan ke Masjidil Haram.
Saat itu, jamaah lumayan padat. Kami pun harus tawaf dengan kondisi berdesakan sehingga peluh membasahi kain ihram kami. Setelah Suubuh, kami baru kembali ke hotel.
Sesampainya di hotel, saya langsung mempersiapkan diri untuk membuat laporan berita ke kantor. Hari pun beranjak siang. Saya yang satu kamar dengan rekan-rekan tim MCH Daker Bandara Jeddah-Madinah larut dalam kesibukan masing-masing. Semua mengeluarkan laptop untuk membuat berita.
Setelah selesai, saya memilih untuk beristirahat. Dua rekan saya, Wawan Isab Rubiyanto dan Sunu Hastoro Fahrurrozi mengajak keluar untuk mengunjungi saudara mereka di daerah Jarwal. Saya menolak dengan alasan lelah.
Saya katakan kepada mereka, “Nanti malam saja sekalian keluar mencari berita.” Tapi kedua kawan saya itu tetap memutuskan keluar hotel karena sudah janji dengan saudara mereka.”
Wawan dan Sunu akhirnya pergi meninggalkan hotel bersama pengemudi tim MCH Bandara Abdul Cholid Tambang. Ketiganya baru kembali ke hotel pada malam hari. Namun, ada yang berbeda dengan penampilan Sunu saat kembali ke kamar hotel. Kepalanya botak hampir plontos.
Saya pun berkelakar, “Waduh, sudah nggak sabar tahalul, nih? Ampe gundul gitu. Nanti abis haji apalagi tuh yang dipotong? Rambutnya sudah habis.”
Saya kira Sunu memang sengaja memangkas habis rambutnya bak orang yang tahalul setelah berhaji. Akan tetapi, cerita Wawan justru membuat saya tertawa lebih keras. Ternyata, potongan botak rambut Sunu bukanlah potongan yang diinginkannya.
Sunu semula hanya ingin merapikan rambutnya lantaran sudah lama tidak memangkas rambut. Masuk ke salah satu salon di daerah Jarwal, Sunu segera dihampiri sang penata rambut. Melihat tarif pangkas rambut hanya 10 riyal atau sekitar Rp 40 ribu, Sunu tak ragu memakai jasa salon tersebut.
Pria pemangkas rambut yang akan melayani Sunu pun lantas menanyakan berapa panjang rambut yang akan dipotong.
“Tukang cukurnya nanya, satu sentimeter? Terus Sunu bilang, jangan, jangan satu sentimeter. Satu setengah sentimeter saja,” kata Wawan menceritakan kejadian di salon.
Karena penggunaan bahasa yang berbeda, si pencukur rambut memahami permintaan Sunu dengan kata terakhir yang diucapkan. Sunu pun dipersilakan duduk di kursi seraya menunggu si tukang cukur menyiapkan mesin pemotong rambutnya.
“Lalu tanpa ba-bi-bu, tukang cukur itu langsung aja motong rambut Sunu. Botak dah,” kata Wawan.
“Iya, padahal aku mintanya satu setengah sentimeter, malah diabisin,” Sunu menimpali sambil mengelus-elus kepalanya sendiri. Kami pun semua tertawa.
Gara-gara penggunaan bahasa yang tidak klop, Sunu pun harus merelakan kepalanya botak lebih dulu sebelum tahalul. Ada-ada saja.