‘’Pergi Haji ke Makkah bukan berati fanatik atau berjiwa pemberontak!’’ Bagi banyak orang, pernyataan itu mungkin dianggap tanpa makna. Tetapi, yang jelas, yang ngomong pernyataan itu bukan sosok sembarangan.
Lalu, siapa yang ngomong itu? Jawabnya sang penasihat pemerintah kolonial di Belanda di awal abad 20, Snouck Hurgronje. Ahli bahasa Semit ini memang pernah mencicipi tinggal di Makkah dalam beberapa waktu pada tahun 1884.
Selama tinggal di Makkah, Sncouk yang menyamar dengan memakai nama seperti orang Turki, Abdul Gaffar, mengamati perilaku para haji dan orang yang tinggal di sana. Hasilnya, kemudian keluar pernyataan dari hasil amatannya itu: Musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik!
Namun, apakah nasihat Snouck selalu benar? Jawabnya jelas tidak! Fakta menunjukkan, para haji atau orang yang pernah pergi atau bersinggungan dengan orang yang pernah naik haji ke Makkah itulah yang selama masa penjajahan selalu memimpin perlawanan terhadap kolonial.
Fakta itu terbukti secara nyata dengan munculnya peristiwa Geger Cilegon atau yang kemudian dikenal di dalam dunia akedemis ilmu sejarah Indonesia sebagai Pemberontakan Petani Banten.
Pemberontakan yang meletus pada malam hari tanggal 9 Juni 1888 ini dipimpin oleh para haji dan pemuka umat Islam di Banten. Mereka melakukan perlawanan karena meluasnya nestapa sosial berupa kemiskinan dan kemelaratan serta penyingkiran peran umat Islam.