REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring berkembangnya zaman, penyelenggaraan haji juga mulai melakukan inovasi baru. Pada 1952, pertama kalinya Indonesia memberangatkan jamaah haji dengan dua pilihan moda transportasi, menggunakan kapal laut atau pesawat terbang.
Namun besarnya perbandingan tarif antara kapal laut, yang dua kali lipat lebih murah dan pesawat terbang, angkutan udara ini masih sangat minim peminat. Tarif haji dengan menggunakan pesawat udara saat itu sebesar Rp 16.691 sedangkan dengan kapal laut hanya Rp 7.500.
Tapi dengan adanya transportasi yang lebih bervariasi tersebut, maka pada 1952 jumlah jamaah haji meningkat pesat menjadi 14.324 orang, dimana 14.031 orang menggunakan kapal laut dan 293 orang menumpang pesawat udara. Sedangkan jumlah jamaah yang meninggal tercatat 278 orang atau 1,94 persen, terjadi penurunan persentase jamaah wafat disebabkan kemungkinan adanya sarana udara.
Menurunnya angka meninggal dunia jamaah haji, mendorong pemerintah mulai berpikir mengurangi jumlah jamaah haji kapal laut. Namun karena belum stabilnya kondisi politik, ekonomi dan sosial saat itu maka penggunaan kapal laut tetap menjadi prioritas utama.
Keberadaan transportasi udara telah menjadi kemajuan yang mulai menjadi inovasi baru di dunia perhajian. Apalagi pada musim haji 1953, tarif perjalanan haji menurun, via laut dipatok Rp 7.300 sedangkan via udara sebesar Rp 13.300. Sampai dengan 1959 jumlah jemaah haji laut masih mendominasi dan jamaah haji menggunakan jalur laut masih menjadi favorit hingga era pertengahan 1960an. Berbeda dengan penerbangan haji saat itu, dahulu penerbangan haji menggunakan pesawat sewaan dan tidak langsung dari tanah air menuju Makkah atau Madinah.
Jamaah yang menggunakan pesawat udara akan mengalami berbagai transit di beberapa negara seperti Srilanka. Seiring perubahan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru penggunaan transportasi udara masih belum menjadi prioritas. Pada 1970 pemeritntah bertanggung jawab penuh menyelenggarakan ibadah haji, sejak penentuan biaya, pelaksanaan hingga teknis diantara dua negara.
Dalam rangka mengefisienkan pelaksanaan haji, maka pada tahun itu biaya Presiden Soeharto melalui Keppres memutuskan biaya haji menggunakan pesawat terbang sebesar Rp 380 ribu, sedangkan berdikari Rp 336 ribu.
Dalam tahun-tahun selanjutnya penerbangan jamaah haji mulai mendapat perhatian khusus terutama setelah perjalanan haji melalui kapal laut dengan perusahaan PT. Pelayaran Arafat, yang milik negara menghadapi berbagai persoalan rumit. Namun di tengah harapan haji dengan udara, sebuah peristiwa besar yang sangat menyedihkan dan menyentak sanubari bangsa Indonesia terjadi pada penerbangan haji 1974.
Pesawat Martin Air yang mengangkut jamaah haji mengalami kecelakaan di Kolombo, Srilanka. Indonesia berduka saat itu, termasuk dalam dunia perhajian. Namun tragedy itu tidak lantas membuat pemerintah menghentikan layanan haji dengan pesawat udara. Sosialisasi secara insentif terus dilakukan pada 1975 dan perbaikan pelayanan udara terus diperbaharui.
Setelah pelayanan haji melalui laut menghadapi masalah bertubi-tubi, PT. Pelayaran Arafat sebagai satu-satunya perusahaan yang memberikan pelayanan haji laut diputuskan pailit. Keputusan pemerintah melalui Menteri Pehubungan pada 1979 akhirnya memutuskan meniadakan angkutan jemaah haji dengan kapal laut. Dengan keputusan ini, pemerintah menetapkan penyelenggaraan angkutan haji satu-satunya dilaksanakan menggunakan pesawat udara.