Rabu 17 Aug 2016 04:53 WIB

Sukarno, H Agus Salim, dan Pengakuan Kalah Jenderal Spoor Setelah Kuasai Yogya

Sukarno dan H. Agus Salim di Brastagi.
Foto: Gahetna.nl
Sukarno dan H. Agus Salim di Brastagi.

''Kita kalah!'' Begitulah pernyataan  Jenderal Simon Hendrik Spoor (lahir di Amsterdam 12 Januari 1902) sesaat menerima laporan melalui 'radio komando' tentang ditangkapnya Soekarno-Hatta dan para petinggi 'Republik' sesaat pasukannya menguasai Istana Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Saat itu komandan pasukan yang berada di Istana Negara melaporkan bahwa yang selesai dibangun usai Perang Diponegoro (1932) itu telah dikepung dan dikuasai. Namun pada saat itu juga dia mendapat laporan lanjutan bila Sukarno, Hatta, H Agus Salim, Syahrir dan para pemimpin republik lainnya tetap berada di dalam, tidak pergi ke luar kota untuk melakukan perang gerilya mengikuti panglima perang Jendral Sudirman.

Sebagai komandan pasukan yang jempolan, naluri militer Spoor kemudian yakin bila Belanda akhirnya akan kalah, atau dengan kata yang lain wilayah koloninya yang diberi nama Hindia Belanda itu akan segera terlepas. Dia rupanya paham betul bahwa 'taktik membiarkan diri ditangkap' adalah stategi yang  tepat. Sebab, bila pergi ke luar kota ikut melakukan gerilya maka akan gampang ditangkap atau bahkan ditembak mati oleh pasukannya. Spoor paham tak mungkin mengeksekusi mereka karena Belanda juga saat itu dalam posisi menjadi sorotan dunia internasional. Lagi pula ia paham sekali bila dalam ilmu ketentaraan ada ajaran bahwa menembak mati tokoh perlawanan yang didukung rakyat itu hanya akan percuma saja, sebab tokoh perlawanan yang baru akan segera menggantikannya.

Di dalam Istana Yogyakarta saat itu juga suasananya mencekam. Para pemimpin Republik kala itu pun yakni bila ajal mereka telah dekat karena terancam hukuman tembak mati. Sebagian pegawai Istana sudah menangis akan ancaman maut itu. Sukarno pun gemetar lalu buru-buru membaca ayat Alquran untuk menenangkan diri. Begitu juga H Agus Salim dan Syahrir. Namun semuanya tabah dan memasrahkan takdir kepada Allah Swt.

''Kenapa aku harus khawatir. Hidup mati itu milik Allah,'' kata Sukarno kepada seorang pegawai Istana yang menangis karena beredar kabar bila sang Presiden akan segera ditangkap dan kemudian dihukum tembak.

Maka meski tahu akan kalah, Spoor tak bisa berbuat apa-apa. Layaknya pertarungan tinju di depan matanya kini melihat taktik merangkul yang dilakukan para seterunya karena tak ingin kalah secara konyol. Ia pun gamang dan tak bisa berbuat apa-apa serta terpaksa menangkap dan membuang para pemimpin itu ke pengasingan di luar Jawa: pertamanya ke Prapat lalu kemudian dipindag ke Bangka.

Apa yang dipikirkan Spoor terbukti setahun kemudian. Belanda terpaksa menyerahkan koloni itu melalui perjanjian di Den Haag. Spoor sedikit 'beruntung' karena dia tidak sempat menyaksikan peristiwa penyerahan kedaulatan itu, karena lebih dahulu meninggal dunia secara mendadak pada 25 Mei 1949 ketika tengah menyantap sarapan. Sebagian mengangap dia meninggal karena serangan jantung, sebagian lainnya menyatakan Spoor mati karena diracun. namun sebagian lagi lainnya ada yang sempat mengatakan dia meninggal karena disantet atau diteluh. Yang pasti Spoor kemudian dimakamkan dalam upacara militer yang megah di pekuburan Belanda yang berada di kawasan Menteng Atas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement