Selasa 16 Aug 2016 15:09 WIB

Menyelami Makna Sai

Sai
Foto: Siwi Tri Puji B/Republika
Sai

Oleh: Ina Salma Febriany

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- “Sesungguhnya, Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke baitullah atau umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui,” (Qs Al-Baqarah [2]: 158)

Alquran surah al-Baqarah ayat 158 di atas dimulai dengan penegasan Allah tentang Shafa dan Marwah. Sebelum ayat ini, Allah memberikan gambaran tentang ciri-ciri orang beriman yakni jika mereka ditimpa suatu musibah, mereka mengucapkan kalimah istirja atau Inna Lillahi wa Inna ilaihi Raaji’un. Orang-orang yang mengucapkan kalimah inilah (ketika mereka tertimpa musibah), mereka mendapatkan barokah dan rahmat dari Allah.

Lantas, adakah hubungan ayat tentang kesabaran orang-orang yang mendapat musibah itu dengan ayat setelahnya, yakni surah al-Baqarah ayat 158 di atas?

Shafa dan Marwah adalah dua bukit yang tadinya berada sekitar 300 meter dari Masjidil Haram. Kini, setelah perluasan Masjidil Haram, ia telah merupakan bagian dari masjid tersebut. Shafa dan marwah adalah termasuk syi’ar Allah. Kata syi’ar seakar dengan kata syu’ur yang berarti rasa.

Syiar adalah tanda-tanda agama dan ibadah yang ditetapkan Allah. Tanda-tanda itu dinamai syi’ar karena ia seharusnya menghasilkan rasa hormat dan agung kepada Allah Swt. Dengan bersa’i sesuai dengan tuntunan-Nya, seseorang mengedepankan dan memaklumkan tanda-tanda agama Allah, sekaligus mengedepankan dan memaklumkan rasa tunduk dan ketaatan kepada Allah Swt.

Sebelum perintah bersa’i atau ayat ini turun, kaum musyrikin melakukan pula sa’i  yang mengandung unsur kemusyrikan dan penyembahan berhala. Mereka berihram atas nama berhala Manat, kemudian melakukan sa’i. Di puncak bukit Shafa, mereka meletakkan patung yang mereka namakan Isaf. Sedangkan di puncak Marwah diletakkan berhala yang dinamakan na’ilah.

Kemudian kaum muslimin sepenuhnya sadar bahwa hal tersebut tidak dibenarkan dalam agama sehingga mereka ragu melakukan sa’i. Untuk menghilangkan keraguan tersebut, ayat di atas menegaskan, “Maka barang siapa yang beribadah haji ke baitullah atau umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya,”

Disinilah letak munasabah (hubungan) surah al-Baqarah ayat 158 ini dengan ayat sebelumnya yang berbicara mengenai kesabaran. Kesabaran orang-orang yang cirinya dibicarakan dalam ayat 156- 157, bukan berarti mereka sabar yang tidak berupaya. Mereka berupaya. Upaya tersebut dinamai oleh al-Quran dengan sa’i yang arti harfiahnya, menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Al-Mishbah adalah usaha.

Sedangkan arti syariahnya pada ibadah haji dan umrah adalah berbolak-balik sebanyak tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah demi melaksanakan perintah Allah (dalam umrah maupun haji). Sedangkan penerapan sa’i dalam kehidupan sehari-hari adalah usaha sungguh-sungguh untuk mencari kehidupan dengan memulainya dari shafa (kesucian niat) berakhir di marwah (kepuasan bathin). Di samping itu, dalam berbagai sisi kehidupan, usaha (sa’i) tentu sangat membutuhkan kesabaran.

Dalam konteks keseharian, pada hakikatnya kita semua melakukan sa’i. Sa’i dalam mencari rezeki untuk keluarga, sa’i dalam belajar menuntut ilmu, sa’i ketika berusaha untuk membahagiakan orangtua, ya semua itu adalah bentuk usaha kita yang akan bernilai pahala yang tiada terhingga jika dimulai dengan shafa (kesucian niat) maka akan berakhir dengan marwah (kepuasan bathin).

Tentu saja, dalam memulai usaha-usaha di atas sangat memerlukan kesabaran; misalnya saja seorang ayah yang sedang berusaha mencari pekerjaan dan rezeki yang halal, kesulitan dalam pekerjaan, tekanan dari atasan, target pekerjaan yang tinggi, serta beberapa kesulitan lainnya. Atau seorang ibu yang harus merawat sendiri anak-anaknya, ditambah pekerjaan rumah yang tiada akhirnya, seluruhnya, semua dari pekerjaan-pekerjaan dan usaha itu jika diniatkan suci dan tulus karena Allah dan untuk kebaikan, insyaAllah akan berganjar ridha dan pahala dari Allah.

Karenanya, dalam konteks melaksanakan ibadah haji atau umrah, maupun usaha-usaha lainnya untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di duniawi, selama dilakukan tulus untuk kebaikan dimulai dari kesucian dan diakhiri dengan kepuasan bathin, maka semua akan mendapatkan ganjaran dari-Nya, sebab Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui aktivitas dan niat pelakunya.

Selamat bersa’i, mari kita sucikan niat dalam hati, agar kepuasan batin terpenuhi...

Wallahu a’lam

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement