Gelar haji memang bukan main-main. Sebagai sosok Muslim paripurna –bila mendapat status haji mabrur – semenjak dahulu mereka jelas menjadi panutan. Salah satunya contohnya adalah disandarkan pada sosok bapak bangsa pemimpin Sarekat Islam (SI): Haji Oemar Said Tjokroaminoto (HOS Tjokroaminoto).Anak Wedono Kleco ini lahir di desa Bakur, Madiun Jawa Timur 16 Agustus 1883. Di tangannya lahir para pemimpin bangsa yang kemudian berpisah jalan karena perbedaan ideologi, misalnya Soekarno, Kartosuwiryo Soekarno, Muso, Alimin, hingga ulama kondang Buya Hamka.
Pada zaman kejayaan Sarekat Islam, Tjokroaminoto adalah mercu suar bagi perjauangan bangsa. Organisasi ini mampu meluaskan diri dari sekedar organasasi elit priyayi dan bersifat lokal seperti Budi Utomo. SI-lah yang menyemangati perlawanan rakyat, misalnya menghidupkan kembali sosok Pangeran Diponegoro yang saat itu mulai dilupakan.
Saking terkenalnya, Tjokroaminoto di dua dekade masa awal abad ke 20, di kalangan rakyat dia dipandang sebagai ‘Ratu Adil’ atau sosok pemimpin pembebas kesengsaraan rakyat. Gerakannya pun menakutkan pemerintah kolonial karena cenderung tidak mau bersikap ‘kooperatif’ dan ingin memperjuangkan pembebasan rakyat dari penghisapan bangsa lain. Dan karena besarnya dukungan massa rakyat kepadanya maka Tjokroaminoto mendapat gelar ‘Raja Tanpa Mahkota atau Raja Jawa yang baru'.
Sebagai seorang Muslim intelek, garis perjuangan SI yang dipimpin Tjokroaminoto sangatlah jelas. Tak hanya itu oleh pemerintah Belanda dia juga dipandang sebagai orang yang bisa menggerakan perlawanan rakyat secara massal dan meluas. Sikap ini makin memusingkan pemerintah kolonial karena dia secara terbuka membuat garis anti penguasaan ekonomi oleh etnis Cina dan melawan rencana Krestenings-Politiek (Politik Peng-Kristenan) dari kaum zending yang saat itu didukung penuh oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Eidenburg (Alexander Willem Frederik Idenburg)..
Di tangan Tjokroaminoto, SI mewujud menjadi organisasi politik pertama terbesar di Nusantara. Pada 1914, anggota resminya mencapai 400.000 orang, sedangkan tahun 1916 terhitung 860.000 orang. Tahun 1917 sempat menurun menjadi 825.000, pada 1918 bahkan merosot lebih drastis lagi hingga pada kisaran 450.000, namun setahun berikutnya, tahun 1919, keanggotaan SI melesat sampai 2.500.000 orang.