Tak hanya menelusuri data sejarah soal orang orang Nusantara naik haji, Peneiliti Keislaman asal Belanda Martin van Bruinessen juga mengkaji persepsi orang Nusantara kepada kota Makkah di masa lalu. Dalam tulisan bertajuk Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji’, Martin mengumpulkan data yang menarik soal hal tersebut.
Menurut Martin, dalam kosmologi Jawa, sepertihalnya banyak kosmologi Asia Tenggara lainnya, pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana kita dengan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua, dan hutan tertentu serta tempat 'angker' lainnya tidak hanya diziarahi sebagai ibadah saja tetapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu ('ngelmu) alias kesaktian dan legitimasi politik ('wahyu' - istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya). Setelah orang Jawa mulai masuk Islam,
Makkahlah yang, tentu saja, dianggap sebagai pusat kosmis utama. Bukankah Makkah merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam, bukankah di sana turun wahyu kepada Nabi, bukankah tanah suci merupakan pusatkeilmuan Islam?
Sebetulnya, pada masa itu ada berbagai pusat keilmuan lain yang tidak kalah dibandingkan dengan Makkah dan Madinah, tetapi orang Asia Tenggara mencarinya di Tanah Suci ini.
Kita tidak tahu kapan orang Jawa yang pertama naik haji, tetapi menjelang pertengahan abad ke- 17 raja-raja Jawa mulai mencari legitimasi politik di Makkah.