REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Sepekan menjelang puncak ibadah haji, suasana Kota Makkah makin padat. Hampir di setiap penjurunya, dapat ditemui rombongan jamaah mengenakan kain ihram berjalan bergerombol di bawah terik matahari. Masjidil Haram pun berubah menjadi lautan manusia.
Lingkaran tawaf yang mengelilingi Kabah berjejal dengan jamaah. Setiap orang melangitkan doa untuk sebuah kesempurnaan ibadah. Harapan akan mencapai kemabruran.
Mabrur, satu kata itu, selalu terselip dalam doa setiap jamaah haji yang menjejakkan kakinya di Tanah Suci. Mungkin juga terucap dalam setiap harapan yang dibisikkan para kerabat saat melepas sang jamaah melakukan perjalanannya.
Harapan itu juga mungkin yang dipanjatkan oleh suami dari Siti Maryam Ismail (60 tahun), saat sang istri tiba-tiba merosot dari pegangannya dan terkulai di lantai sai. Atau oleh istri dari Hari Mustafa Muhammad Nur (73) ketika sang suami jatuh saat melakukan tawaf di putaran ketiga. Kedua jamaah tersebut menghadap Sang Khalik di dalam Masjid Suci itu, saat menjalankan rangkaian rukun Islam yang terakhir guna menyempurnakan keIslaman mereka.
Jutaan jamaah haji memburu mabrur setiap tahunnya. Bersaing dengan sesamanya guna mencapai kesempurnaan ibadah haji. Sayang dalam prosesnya upaya mencapai kesempurnaan ibadah itu acapkali menghilangkan sisi kemanusiaan.
Tengoklah lautan manusia yang terkadang saling dorong saat lempar jumrah atau bahkan saat mencium Hajar Aswad, yang bukan bagian dari ibadah wajib. Seorang jamaah dari India, satu waktu, terlihat hampir tercekik kerudung yang digunakannya demi memburu Hajar Aswad. Jamaah perempuan lain bahkan sampai kehilangan kerudungnya.
Ketakutan akan terjadinya aksi saling dorong yang bisa berujung fatal itulah yang membuat pemerintah berulang kali menyosialisasikan waktu-waktu terlarang lontar jumrah bagi jamaah haji Indonesia.
Jangan memburu keutamaan bila berujung sia. KH Ihsanuddin Abdan, pengasuh Pondok Pesantren Awaliyah Alawi Magelang yang juga bagian dari tim Konsultan Bimbingan Ibadah Daerah Kerja (Daker) Mekkah, memiliki jawaban sederhana untuk itu. "Haram hukumnya menyakiti diri sendiri dan orang lain."
Atas dasar itulah hendaknya empati tak hilang saat berhaji sehingga perjalanan fisik dapat seiring perjalanan spiritual. Agar tak hanya membawa pulang kisah-kisah tentang keduniawian, tentang kota yang terik, Masjidil Haram yang megah, kesuksesan mencium Hajar Aswad, kiat memburu oleh-oleh hingga tips menyelundupkan air Zamzam dari pantauan petugas.
Menjadi mabrur adalah menjadi sosok yang lebih baik setelah berhaji. Meninggalkan semua perbuatan buruk dan maksiat. "Banyak mungkin yang pergi untuk status haji saja. Jadi kalau tidak dipanggil pak haji tidak menjawab. Padahal haji adalah ibadah semata-mata untuk mengejar ridha Allah SWT," katanya.
Sambil tersenyum, ia kemudian menguraikan tak pernah ada Haji Muhammad atau Haji Abu Bakar, merujuk pada Rasul dan salah satu sahabat terdekatnya. Oleh karenanya, haji mabrur adalah haji yang tidak bercampur dengan dosa atau maksiat, walau hanya sebesar debu. Tak ada rasa iri, dengki, durhaka, sombong atau angkuh.
Berhenti
Lalu dimana titik tolak kelahiran sosok manusia baru itu? Jawabnya adalah Padang Arafah. Tempat pertemuan Adam dan Hawa setelah terlempar dari surga.
Di tempat itu, di bawah teriknya matahari Kota Mekkah, umat manusia diminta melakukan introspeksi pada dosa di masa lalu seraya diingatkan pada suasana di Padang Mahsyar saat hari akhir. "Wukuf itu berhenti," kata KH Ihsan.
Sederhana di kata, namun tak semudah membalik telapak tangan pada praktiknya. Berhenti dari semua perbuatan jahat, dosa dan maksiat. Berhenti melakukan dosa menuju ke sosok yang lebih baik.
Setelah menanamkan niat untuk berhenti, maka jamaah akan bergerak menuju Muzdalifah guna mengumpulkan batu untuk lempar jumroh. "Saat mencari batu seakan-akan kita mencabut dosa-dosa kita dari dalam hati untuk dilemparkan jauh-jauh dan tidak diulang kembali," katanya.
Selain mengenang perjuangan Nabi Ibrahim AS, prosesi lempar jumroh juga menandai dibuangnya segala perbuatan buruk. Bercermin dari itu semua tampaknya kemabruran seseorang dalam berhaji bukanlah didapat di Tanah Suci dengan kesempurnaan ritual.
Mungkin kemabruran sesungguhnya justru hanya dapat dilihat di Tanah Air. Saat tutur kata makin santun, hati makin peka terhadap lingkungan, kedermawanan meningkat, intelektualitas terbangun dan damai bersemayam.
Tanpa perubahan itu, maka mungkin haji tak ubahnya berjalanan wisata yang berkutat pada masalah layanan pemondokan, kualitas katering, atau pengalaman napak tilas jejak Nabi. Tak ada dosa yang dibuang di Jamarat. Tak ada saat-saat berserah saat wukuf di Arafah.