Tak dapat dipungkiri, mantan presiden Suharto yang berulang tahun pada 8 Juni ini (lahir di Desa Kemusuk, Kabupaten Bantul, 8 Juni 1921) meninggalkan jejak yang panjang, khususnya bagi umat Islam Indonesia. Di satu sisi kerap dipandang tak ramah terhadap Islam (terutama di masa awal Orde baru), di sisi lainnya begitu akrab dengan Islam (terutama setelah tahun 1990 atau di penghujung masa pemerintahannya).
Bila ditelusuri ke belakang, Soeharto memang lahir bukan dari kalangan Islam yang bisa digolongkan sebagai keluarga santri. Sosok lingkungannya bisa dikatakan berasal dari kalangan Jawa yang pemahaman keagamannya masih "setipis kulit ari" (meminjam istilah MC Ricklefs--Red) atau kaum abangan (meminjam Cliffrod Geertz--Red).
Meski tumbuh di kalangan Islam abangan, Soeharto pada masa kecil sempat mengenyam pendidikan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta. Di situ dia sempat mencicipi keanggotaan pandu Hizbul Wathon.
Selain itu, terutama ketika tinggal di rumah pamannya di Wuryantoro Wonogiri, pemahaman agamanya juga didapat dari para guru mengaji atau kiai desa di masjid yang ada di sekitarnya. Semasa hidup, Soeharto pun sering menceritakan bahwa dirinya dulu kerap tidur di masjid dan memukul beduk saat waktu shalat tiba atau pada malam Ramadhan dan hari raya.
Seperti orang Jawa lainnya, "tipisnya" pemahaman akan ajaran Islam membuat Soeharto kerap pergi menyepi untuk bertapa atau menyendiri di tempat keramat. Petilasan tempat Soeharto melakukan ritual ini terdapat di banyak tempat dan sampai sekarang pun banyak orang mengunjunginya. Di perbukitan kecil, yakni Bukit Srandil, di pinggir Pantai Selatan Jawa yang berada di kawasan timur Cilacap (sebelah selatan Gombong), orang masih melihat petilasan yang terkenal dengan sebutan petilasan pertapaan Soeharto.
Di tempat lain, misalnya di sebuah lereng di hutan Gunung Lawu atau di pertemuan tiga anak sungai di dekat Semarang, orang pun masih mengenalnya sebagai tempat Soeharto melakukan ritual tirakat ala orang Jawa.