IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Arab Saudi menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat, terutama bagi yang beragama Islam untuk bisa bekerja (menjadi tenaga kerja Indonesia/TKI), sekaligus bisa melaksanakan umrah atau haji. Sejak 2011, ada pemberlakukan moratorium pengiriman TKI ke Saudi.
Namun, di sisi lain, kebutuhan TKI di Saudi meningkat hingga dua sampai tiga kali lipat. Kanit IV Subdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri AKBP Julianto Sirait mengatakan, hal ini dimanfaatkan oleh pelaku pengiriman TKI ilegal atau oknum tertentu. Ditambah lagi agen haji atau umrah tidak memberikan pengawasan sebagaimana mestinya.
"Kalau kita memberangkatkan 10 jamaah, maka kita juga berkewajiban memulangkan 10 jamaah. Pada kenyataannya banyak ditemukan jumlah yang pulang tidak sama dengan sewaktu pergi," ujarnya saat menghadiri simposium bertema 'Jalur Kejahatan Perdagangan Manusia Melalui Umrah' di Hotel Pullman, Jakarta, Rabu (15/3).
Dia mengatakan, Indonesia sudah memiliki undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sejak 2007 yakni UU Nomor 21 tahun 2007. Mendekati 2010, ada pergeseran modus operandi yakni dengan menggunakan visa wisata, termasuk visa umrah. Julianto mengatakan, pemberlakukan visa di Saudi sangat ketat, tetapi banyaknya permintaan terhadap TKI menimbulkan para pelaku mencari modus operandi lain, salah satunya lewat visa umrah.
Pada 2011, kata Julianto, Pemerintah Indonesia melaksanakan repatriasi (memulangkan WNI ke Tanah Air). Yang dipulangkan tersebut terdiri dari dua ketegori, yakni yang melebihi masa izin tinggal dan TKI bermasalah. "Dari jumlah yang dipulangkan, ada yang menggunakan modus umrah untuk bekerja di Saudi, yang paling banyak dari Jabar, Kalsel, Madura (Jatim), dan NTB," katanya.