Kamis 11 May 2017 10:37 WIB

Peci Putih dan Siri: Orang Bugis Naik Haji

Jamaah haji asal Martapura
Jamaah haji asal Martapura

“Pergi haji adalah kebanggan orang Bugis!” Mungkin bagi orang di luar suku ini, banyak yang heran setelah tahu betapa tingginya minat anak turun para ‘pelaut’ tersebut pergi haji ke Makkah. Faktanya, sangat jelas.

Di kawasan Sulawesi Selatan dan wilayah lain disekitarnya seperti Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Suawesi Tengah  antrean orang pergi haji sudah sangat panjang dan kerapkali disebut ‘tidak masuk akal’ karena telah mencapai rata-rata di atas 25 tahun. Di kabupaten Sidrap dan Pinrang misalnya antrean hajinya sudah hampir mencapai 40 tahun.

‘’Ya bagi kami yang orang Bugis, haji adalah kehormatan. Tak berhaji bagi orang Bugis belum menjadi Muslim yang utuh. Pergi berhaji ke Makkah adalah impian semua orang Bugis,’’ kata anggota DPD Hj Nurmawati Dewi Bantilan senator asal Palu.

Untuk mewujudkan niat suci itu, maka mereka pun serius mempersiapkan pendanaannya melalui menabung secara bertahun-tahun. Setiap kali panen, baik itu padi, coklat, atau pun tanaman lainnya, setiap individu menyisihkan uangnya sedikit-demi sedikit.

Bahkan, banyak di antara orang Bugis yang berprofesi sebagai pedagang mereka menyicilnya dengan cara menabung secara harian. Ibarat pepatah, demi pergi ke Makkah untuk menyempurnakan iman Islamnya, mereka mengumpulkan sedikit demi sedikit hingga menjadi bukit!

Seorang pengusaha travel haji dan umrah asal Sidrap, Andi Aminudin, menceritakan betapa luar biasanya keinginan orang Bugis untuk naik haji. Mereka akan lakukan apa saja, misalnya mengurangi kelezatan makan dan minum, asalkan bisa menyisihkan uang untuk ke Makkah.

Banyak diantaranya selain menabung, cara mengumpulkan uang untuk biaya haji, mereka lakukan dengan membeli emas secara mencicil. Ketika mereka merasa tabungan atau emasnya tersebut telah cukup untuk membiayai perjalanan haji maka tanpa pikir panjang lagi langsung pergi mendaftar naik haji.

‘’Bagi yang berpunya pakai haji khusus. Bayar 4000 dolar untuk setoran awal dan harus menunggu antrean haji hingga tujuh tahun. Bagi orang biasanya maka mereka membayar setoral awal Rp 25 juta dengan risiko antrean haji hingga lebih dari seperempat abad. Nah, meski anteran begitu panjang kami orang Bugis tetap saja mendaftar,’’ kata Andi.

Bagi orang Bugis, lanjut Andi, biaya pergi haji dari dulu belum banyak berubah. Bila diukur dengan perbandingan emas, biaya haji hanya sekitar empat (4) ringgit uang emas, yakni sekitar 160 gram emas murni. Sedangkan bila disandingkan dengan panenan padi, biaya haji dari dulu masih belum beranjak terllau jauh dari nilai harga 23 ton gabah kering.

‘’Bagi kami orang bugis, juga termasuk orang Makassar, setiap kalo panen mereka menyisakan beli ringgit emas. Nah, bila sudah terkumpul empat ringgit emas tersebut, mereka langsung tukarkan untuk melunasi biaya haji. Tak hanya itu kebiasaan menyiapkan diri untuk pergi haji sudah mereka siapkan semenjak mereka menikah, dengan cara memberikan mahar dengan bentuk emas,’’ ujar Andi.

Mengapa lebih memilih menabung dengan emas? Andi pun menjawab salah satunya adalah harga emas yang stabil sehingga mereka tak rugi bila hendak menjualnya kala sudah siap naik haji. “Bagi kami pilihan menabung emas juga dapat menghindarkan diri dari situasi ‘gharar’ (gambling) akibat naik.turunya harga kurs dan komoditi. Jadi dengan menabung memakai emas, harta yang dipakai untuk naik haji benar-benar merupakan harta yang bersih dari riba,’’ kata Andi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement