IHRAM.CO.ID, SANAA -- Paspor warga sipil Yaman yang diterbitkan di kota-kota yang dikuasai kelompok pemberontak Houthi sejak 1 Januari 2016, tidak bisa digunakan untuk berhaji ke Tanah Suci, Arab Saudi. Pemerintah Yaman yang diakui secara internasional mengingatkan, bahwa paspor yang dikeluarkan oleh pemberontak Houthi tidak mendapat persetujuan untuk musim haji 2017.
"Paspor yang dikeluarkan oleh kota-kota yang berada di bawah kendali milisi Houthi dan (mantan Presiden Ali Abdullah) Saleh dari awal tahun 2016 sampai sekarang, belum disetujui untuk musim ziarah berikutnya," ujar Menteri Wakaf dan Bimbingan Agama Yaman Ahmed Attia seperti dilansir dari The New Arab baru-baru ini.
Dia menyebut, tidak adanya informasi dalam basis data yang tersimpan di imigrasi dan paspor berwenang menjadi alasan keputusan tersebut. "Penerbitan paspor selama periode ini tidak terhubung secara elektronik ke otoritas setelah pemberontak memutuskan hubungan mereka dengan itu," ujar Attia. Paspor yang dikeluarkan sebelum tanggal tersebut dapat diterima karena disimpan dan dihubungkan langsung ke otoritas paspor, serta dikeluarkan oleh pemerintah sah.
Pada 2015, pemberontak mengumpulkan ribuan pendukung untuk mengecam keputusan Saudi yang menolak izin berhaji warga Yaman pergi ke Tanah Suci. Ribuan pemrotes turun ke jalan di ibu kota Yaman, Sanaa. Mereka mengenakan jubah putih yang biasanya dipakai saat berhaji. Menurut mereka, ini keputusan tidak adil karena merugikan warga sipil Yaman yang tidak bersalah.
Huthi Yaman menguasai Sanaa pada 2014 dan menguasai banyak institusi negara bagian serta mendirikan negara dan aparat militer sendiri untuk mengelola negara tersebut.
Bulan lalu, Kementerian Industri dan Perdagangan Yaman dikuasai pemberontak. Mereka mengeluarkan kartu komoditas yang memungkinkan pegawai pemerintah membeli makanan pokok dari dua toko di Sanaa dalam upaya menenangkan para pemrotes setelah beberapa bulan gaji mereka tidak dibayar.
Sebuah koalisi (pimpinan Saudi) turun tangan untuk mendorong mundur Huthi pada Maret 2015. Namun, kelompok pemberontak masih menguasai kontrol atas ibu kota dan sebagian besar lembaga negara. Sementara itu, pemerintah yang diakui secara internasional, Abd Rabbo Mansour Hadi tetap tinggal di Aden dan telah membentuk sebuah ibu kota sementara dan serangan anti-Houthi pun terus berlanjut.