Jumat 04 Aug 2017 09:11 WIB

Makkah, Kota Tempat Tumbuhnya Keilmuan Imam Syafi’i

Perjalanan kafilah rombongan jamaah haji meninggalkan kota Makkah menuju padang Arafah pada tahun 1935.
Foto: Gahetna.nl
Perjalanan kafilah rombongan jamaah haji meninggalkan kota Makkah menuju padang Arafah pada tahun 1935.

Imam Syafi’i  adalah salah satu dari empat imam besar yang warisannya mengenai masalah peradilan dan yurisprudensi hukum Islam. Imam Syafi'i lahir di kota Gaza di Palestina pada tahun 767 M.

Nama kecilnya adalah Mohammad Ibn Idris.Imam Syafi'i merupakan keturunan keluarga Hasyim dari suku Quraish yang juga menjadi keluarga MuhammadSAW.

Rantai leluhur Imam Shafi'i terdiri dari sebagai berikut: Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi'i Ibn Saa'ib Ibn Ubayd Ibn Abd Yazid Ibn Hasyim Ibn Muththalib Ibn Abd Munaf Qurayshi Muttalibi Hashimi.

Kehidupan Awal

Ayah Imam Syafi'i meninggal di Ash-Sham saat masih kecil. Setelah kematian ayahnya, ibu Imam Syafi'i pindah ke Makkah, saat Imam Syafi'i baru berusia dua tahun. Akar keluarga ibu Imam Shafi'i berasal dari Yaman dan ada juga beberapa anggota keluarga di Makkah, tempat di mana ibunya percaya dan berharap agar dia mendapat perhatian dengan baik.

Imam Syafi'i menghabiskan tahun-tahun awal pembentukan karakternya  di Makkah dan memperoleh pendidikan agama di kota-kota di Makkah dan Madinah. Di Makkah, Imam Syafi'i belajar di bawah Mufti Muslim Ibn Ibn Khalid Az-. Dia dibesarkan di antara suku Banu Huzayl di Makakh yang sesuai dengan banyak suku Arab di era itu sangat berpengalaman dalam seni puisi, sebuah tradisi yang disampaikan kepada Imam Syafi'i yang juga menjadi sangat mahir dalam hal itu.

Pendidikan awalnya ditandai dengan kemiskinan akut. Ini karena ibunya tidak mampu membayar biaya pendidikannya. Meski begitu, gurunya sangat terkesan dengan kemampuannya sehingga dia menganggapnya sebagai siswa formal dengan biaya tanpa biaya tambahan.

Seperti dilansir Saudii Gazette.com, saking miskinnya, ibunya tidak bisa membelikannya kertas karena keadaannya ekonominya begitu  buruk. Alhasil. Sosok remaja Mohammad Ibn Idris terpaksa  menggunakan tulang, batu dan daun kelapa untuk menulis tugas belajarnya.

Tapi kekurangan tersebut  bukan untuk mencegahnya memperoleh pengetahuan. Mohammad muda Ibn Idris tidak hanya menghafal seluruh teks, tapi juga mampu memahami konteks dan sejarah etimologis yang terkait dengan berbagai ayat Alquran pada usia 10  tahun.

Sedangkan ketika berusia 15 tahun dia telah mampu mengumpulkan kedalaman dan ketelitian pengetahuan ajaran Islam. Melihat kemampuan anak didiknya itu, maka Mufti Makkah pada waktu itu kemudian memberi wewenang kepadanya untuk mengeluarkan fatwa .

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement