IHRAM.CO.ID, SITUBONDO -- Rencana pemerintah menginvestasikan dana haji untuk pembangunan infrastruktur, direspons para kiai dan dosen Ma’had Aly dengan menjadikannya sebagai tema bahasan pada Bahtsul Masail Tingkat Regional Jawa Timur.
Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah, KH Ach Azaim Dzofier Ibrahimy, melihat hal ini sebagai persolan serius, karena menyangkut pengelolaan dana yang cukup besar. Oleh karenanya, Ia meminta peserta memperhatikan aspek-aspek kemaslahatan terukur sesuai konstruk hukum Islam yang berlaku agar nantinya putusan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
“Namun yang paling penting adalah persoalan ini didasarkan pada proses istinbath (penggalian hukum) yang mandiri tanpa adanya tendensi apapun meskipun kami didaulat sebagai tuan rumah penyelenggara,” papar Kiai Azaim pada pembukaan Bahtsul Masail, di Situbondo, akhir pekan.
Bahstul Masail Ma’had Aly Regional Jawa Timur ini diselenggarakan bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. Pada moment ini sekaligus dilaunching Ma’had Aly Marhalah Tsaniyah (M.2) PP Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Ahmad Zayadi, mengatakan, tujuan kegiatan ini adalah menggali bangunan hukum Islam atas pengelolaan dana haji pasca diterbitkannya Undang-undang (UU) Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Selain itu, bahtsul masail juga diproyeksikan untuk memetakan posisi BPKH, pemilik dana haji sekaligus sistem bagi hasil investasi.
“Sejak awal ma’had aly tidak hanya diproyeksikan sebagai pusat studi keilmuan Islam, akan tetapi juga dituntut aktif dalam merespons gejala sosial dan problematika keumatan yang salah satunya ialah terkait isu pengelolaan dana haji,” ujarnya.
Aktualisasinya tentu harus berbeda dengan tradisi bahtsul masail yang selama ini dipraktikkan di pesantren lainnya yang masih berkutat pada tradisi qawli (mendasarkan pada pendapat ulama). Bukan pada aspek metodis dan kajian lintas disiplin keilmuan (manhaji) dan kajian lintas disiplin keilmuan.
Zayadi menambahkan, sembilan program studi ma’had aly telah dikembangkan sedemikian rupa menjadi konsentrasi (takhassus) yang sekaligus berfungsi membedakan satu ma’had aly dengan ma’had aly lainnya yang mengambil prodi serupa.
Rumpun fiqh dan ushul fiqh misalnya, hadir dalam berbagai varian konsentrasi, meliputi kajian fikih politik (Fiqh Siyasah) yang dikembangkan Ma’had Aly Nurul Qarnain Jember, kajian integrasi teks dan maqashid di Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo, kajian fiqh perundang-undangan (fiqh taqnin) di Ma’had Aly MUDI Aceh, dan sebagainya.
Belum lagi kajian tafsir hukum yang dikembangkan Ma’had Aly Nurul Qodim Probolinggo dan kajian hadis Ma’had Aly Tebuireng untuk mengukuhkan argumentasinya pada teks-teks korpus syariah.
“Bayangkan, betapa kuatnya tradisi keilmuan yang dikembangkan untuk menganalisis satu persoalan dari beragam perspektif yang ada di ma’had aly. Ini semua menandakan, eksistensi ma’had aly tak lagi diragukan dalam membidani lahirnya ulama-ulama mumpuni. Ulama lulusan ma’had aly inilah yang dipersiapkan untuk turut berkontribusi mewujudkan nilai-nilai kemaslahatan manusia dan semesta (mashalihil khalqi)," tandasnya.
Bahtsul masail ini diikuti oleh Ma’had Aly Region Jawa Timur dan sejumlah pesantren lainnya, yang secara keseluruhan berjumlah 50 peserta dan akan dilaksanakan selama dua hari ke depan. Diharapkan, kegiatan ini menjadi barometer pesantren lainnya untuk menumbuhkembangkan kajian lintas keilmuan dan membuktikan pondok pesantren sangat responsif terhadap perkembangan zaman.