IHRAM.CO.ID, Wartawan Republika.co.id, Nashih Nashrullah, dari Makkah, Arab Saudi
Ini adalah pengalaman pertama hadir dalam jamuan makan malam dengan suasana padang pasir, Sabtu (20/8) yang digelar Muassasah al-Muthawwif Asia Tenggara Makkah dengan penyambutan khas Arab Baduwi; pakaian tradisional Makkah, tenda-tenda berkarakter gurun, tarian adat Arab yang dikenal dengan sebutan mizmar, serta lantunan bait-bait syair pujian untuk Rasulullah SAW dan puisi-puisi berlagu yang berisi kebahagian menyambut jamaah haji.
Sudah pasti tentu lengkap dengan sajian makanan yang yummy berupa kambing guling, kabab, aneka buah-buahan, dan minuman, dari yang hangat hingga dingin. Satu lagi masih urusan perut, gahwah, racikan kopi Arab dengan campuran rempah di dalamnya, sebutir kurma melengkapi tiap tegukan kopi istimewa itu.
Lokasinya tak kalah eksotis, di padang pasir kawasaan Bahrah, sekitar 40-an km, di tengah-tengah Makkah dan Jeddah. Dua jeep offroad dan lima kendaraan ATV disiagakan untuk menjajal rute gurun pasir sembari menunggu kabab dan kambing guling, matang disajikan.
Tapi ini bukan semata soal makanan dan minuman, tapi ihwal siapa yang datang dalam jamuan ini. Mereka adalah utusan panitia penyelenggara haji dari Asia Tenggara di antaranya Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Cina. Para pelayan tamu Allah SWT dari Asia Tenggara!
“Ini adalah penyambutan spesial dari Muassasah Asia Tenggara, tidak ada dari muassah kawasan lain,” kata Wakil Muassasah Asia Tenggara, Yousif A Jaha Seremoni ini tak lain adalah bentuk bernostalgia dengan masa lampau.
Menghadirkan suasana bagaimana kakek dan nenek moyang kita, menempuh waktu berbulan-bulan, menyusuri lautan, menapaki daratan, demi menunaikan rukun Islam kelima ini.
Para jamaah haji dari Asia Tenggara, tentu istilah ini belum ada pada masa itu, mereka berkoneksi dengan saudara serumpun mereka selama berada di Tanah Suci. Dari Pelabuhan Jeddah, mereka singgah diperkemahan-perkemahan semacam ini, sekadar melepaskan letih dan mengembalikan stamina.
Sebelum Terusan Suez Mesir beroperasi, ungkap M Dien Majid dalam Haji di Masa Kolonial, perjalanan haji menggunakan kapal layar harus ditempuh dengan waktu yang lama. Perjalanan haji bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Waktu panjang itu tak lain untuk menyesuaikan arah angin yang menjadi penggerak utama kapal.
Belum lagi soal risiko besar di hadapan para jamaah haji tersebut. Mereka harus siap dengan kondisi alam yang tak ramah seperti ombak, badai, dan gelombang selama berada di laut. Sejarah mencatat, insiden kecelakaan perahu yang mengangkut jamaah haji karam dan tenggelam akibat cuaca. Belum lagi ancaman begal, rampok, dan penculikan yang rawan di kawasan padang pasir pada masa itu. Mereka, benar-benar mempertaruhkan nyawa! (Majid : 2008)
Sembari terdengar lantunan syair pujian Rasulullah SAW dari tim shalawat, kami berdua berbincang seputar potret Muslim Asia Tenggara. Selama dirinya bertugas di muassasah, Yousif menangkap kesan mendalam dari karakter Muslim Asia Tenggara. Ada asa yang besar. Di saat potret dunia Islam di Timur Tengah sedang dirundung konflik berdarah, Muslim Asia Tenggara, memberikan contoh yang baik.
Contoh tentang korelasi yang kuat antara iman dan cinta tanah air, hubungan tak terpisahkan antara agama, nilai, dan adat, dan bagaimana Muslim Asia Tenggara membuat negara luar menengok kebangkitan Islam di kawasan, yang oleh Ibu Batuthah disebut dengan istilah syarq al-aqsha (timur jauh) itu, terutama sejak peristiwa 9/11.
“Begitu damai dan sejuknya wajah beragama Muslim di Asia Tenggara adalah contoh yang baik,” kata pria berdarah Tanara, Serang, Banten ini berbahasa Arab.
Korelasi haji dan kebangkitan Islam tak pernah terlepaskan dari etape sejarah Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-18 dan ke-19, mereka yang berhaji menjadi agen-agen perubahan di tanah Melayu dan Jawa. Haramain, dua kota suci, Makkah dan Madinah, adalah pusat peredaran para agen perubahan tersebut.
Tiupan angin gurun pasir, hamparan pasir sejauh mata memandang, di pengujung senja, di bawah langit yang beranjak menjingga, di tempat saya berpijak, berdiri di samping Yousif, pikiran saya terhentak pada ratusan tahun lalu. Masa-masa ketika para haji dari rumpun Melayu menapakkan kaki mereka di tanah suci berbekal tekad dan kembali ke kampung membawa semangat perubahan. Bangkitlah, Muslim Asia Tenggara.