IHRAM.CO.ID, Wartawan Republika.co.id, Nashih Nashrullah, dari Makkah, Arab Saudi
Pengukur suhu di ponsel pintar berbasis android, menunjukkan, cuaca di Padang Arafah, pagi itu, Kamis (31/8) tepat pukul 10.00 waktu Arab Saudi, sangat ekstrem, mencapai 48 derajat Celsius. Angka tersebut terus naik hingga matahari tergelincir, menjelang dan sesudah shalat Zhuhur, hingga 50 derajat celsius.
Pada jam-jam ini, jamaah haji Indonesia secara keseluruhan memilih menetap di tenda masing-masing hingga prosesi wukuf selesai saat matahari terbenam di ufuk barat. Efek pendingin udara nyaris kalah dengan panasnya udara Arafah, pagi itu.
Bismillah, kesempatan ini saya pergunakan untuk berangkat menuju Jabal Rahmah, sendirian. Pikir saya, kapan lagi saya gunakan kesempatan ini untuk napak tilas tempat pertama kali Nabi Adam AS dan Hawa dipertemukan, setelah hampir ratusan terpisah. Di momentum ini, puncak haji, wukuf 9 Zulhijjah.
Dengan membawa tiga botol air dan handuk kecil saya menapaki sekitar 4 km dari Maktab 30 tenda yang ditempati para petugas dan sebagian jamaah haji Indonesia, menuju Jabal Rahmah. Sepanjang kaki melangkah, saya berpapasan dengan jamaah dari berbagai negara. Semakin siang, sengatan matahari tambah memuncak. Beberapa kali saya menerima tawaran air minum dingin gratis yang dibagikan di sejumlah titik.
Bukan untuk diminum, tetapi saya siramkan ke muka dan bagian atas kepala guna mencegah serangan heatstroke. Pegal kaki, tentu iya. Lemas badan, apalagi. Keinginan menjejakkan kaki di area Jabal Rahmah, memotivasi saya memaksakan diri. Waktu tempuh perjalanan di luar prediksi. Dalam hitungan saya, maksimal 20 menit tiba di area Jabal Rahmah. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Satu jam kurang sepuluh menit, saya baru tiba di Jabal Rahmah.
Ratusan ribu jamaah tumpah ruah di Jabal Rahmah yang juga merupakan tempat Rasulullah menyampaikan khutbah perpisahan (wada’). Sebagian ada yang menggelar tenda-tenda darurat. Ada pula yang tidur begitu saja, beralaskan karton kardus yang disusun. Tak sedikit yang juga yang tidur di bawah kontainer truk. Panasnya cuaca Arafah, siang itu, sama sekali tak menyurutkan animo jamaah haji dari berbagai negara mendaki Jabal Rahmah. Saya memilih berdiam di area bawah. Massa di puncak Jabal Rahmah menyemut. Kepolisian memberlakukan ketat akses masuk dan pintu keluar. Di saat yang sama, sang surya terasa tepat berada di atas pundak kita, amat membakar.
Seketika itu, saya langsung teringat beginikah gambaran kelak saat kita digiring di Padang Mahsyar? Wukuf, kata Syariati, adalah miniatur dan refleksi dari penggiringan kita di Padang Mahsyar. Di sini, segala ras menyatu sebagai sat bangsa tanpa ada batas-batas.
Seakan-akan seluruh dunia berkumpul di daratan ini, di bawah tenda-tenda berwarna putih yang membentang dari ujung cakrawala ke ujung cakrawala lainnya, di mana perbedaan ditekan sedemikian rupa, aristokrasi terasa begitu hina dan kecantikan buatan manusia tampak palsu belaka.
Lamunan itu sampai memunculkan halusinasi yang bukan-bukan. Saya memutar mencari jalan keluar Jabal Rahmah, setidaknya, mencari jalan sama yang saya tapaki sewaktu berangkat. Namun tak membuahkan hasil. Saya berburu dengan waktu untuk pelaksanaan puncak wukuf: ini sudah pukul 12.30 waktu Arab Saudi. Saya harus segera ke tenda. Apakah ini yang dimaksud dengan dehidrasi, membuyarkan semua fokus dan konsentrasi.
Saya memutuskan membeli sebuah payung putih untuk menutupi kepala dari sentuhan langsung sengat matahari, seharga 10 riyal dan saya terus berjalan pulang menunju tenda-tenda jamaah haji negara lain. Melewati tenda jamaah Pakistan, Bangladesh, Turki, Asia Tengah, Amerika, Afrika, dan, saya tersesat: gumam saya. Fisik sebenarnya tak lagi kuat menopang kedua kaki. Penglihatan tak lagi sejelas pagi hari sewaktu berangkat.
Fatamorgana muncul begitu saja depan pandangan. Tuhan ampuni saya. Ampuni saya. Bisa saja saya basahi kepala dan tubuh saya ini dengan puluhan botol mineral dingin, namun air apakah yang akan saya gunakan kelak membasahi badan ini di Padang Mahsyar. Sebuah payung bisa terbeli di Padang Arafah siang itu. Lantas, di mana dan payung model apa yang bisa saya dapatkan kelak di Padang Mahsyar?
Di padang ini, biarlah, kata Syariati, naluri dan sifat mekar di bawah mentari Arafah yang terang. Jangan melarikan diri dari sinar menterai, cahaya, kemerdekaan, dan gerombolan manusia. Tampillah bersama umat manusia. Keluarlah dari tendamu, terjunlah ke dalam lautan manusia yang dalam. Biarkanlah egomu terbakar sinar mentari Arafah. Suara khutbah wukuf berbahasa Indonesia mulai terdengar sayup di telinga. Ini tenda saya. Tuhan masih selamatkan saya di pelataran-Mu ini, Padang Arafah.